Menepis Ragu, Memburu Mimpi


Berbicara pengalaman tentang bagaimana berburu beasiswa LPDP tidak akan pernah menjadi cara bernarasi favorit saya. Keterbatasan emosi yang tidak bisa pembaca rekam biasanya mengurangi esensi dari proses pemburuan tersebut  Namun, semoga tulisan ini dapat mewakili perasaan saya yang teramat bahagia tanpa membuat pesan yang sesungguhnya menjadi sulit dipahami.

Serupa dengan  tulisan-tulisan awardee yang terdahulu, jujur, membaca tip mereka  banyak membantu saya dalam membangun pilar penopang proses idealisasi. Disana saya menemukan apa yang harus saya lakukan demi Indonesia yang lebih baik. Entah dengan skala rumahan atau skala pabrikan. Sehingga bagi saya, kisah ini adalah penggalan pengulangan dari apa yang pernah saya bookmark dengan versi saya sendiri.

"Benarkah saya seorang awardee?" Seolah tidak percaya, pertanyaan tersebut seringkali terbesit dalam pikiran. Sampai sekarang pun, saya masih sering menangis tatkala mengingat sebuah surel datang dari LPDP dan menyatakan saya lulus tes substansi.

Ibarat belajar berenang yang tak akan berhasil bila takut tenggelam, atau ibarat belajar bersepeda yang akan gagal jika terus takut jatuh, kita pun butuh keberanian untuk berani bermimpi dan menjadikannya nyata. Sebab, mimpi hanya sekedar mimpi bila hanya ditunggu tanpa dikejar. Rintangan demi rintangan bagi saya adalah proses manis untuk menghidupi mimpi tersebut.

Rintangan pertama bermula saat mengikuti toefl, awalnya saya sempat kecewa karena toefl ITP saya kurang dari standar Afirmasi tahun 2016. Kekecewaan itu saya leburkan dengan pergi ke Pare, Kampung Inggris utuk menimba apapun ilmu yang bisa ditimba, selama itu baik tentunya. Atas izin orang tua dan rekan kerja saya memutuskan untuk resign dan bertolak ke Pare. Tabungan dari hasil gaji selama setengah tahun saya kuras demi perjuangan ini, mengingat biaya pesawat dari Balikpapan menuju Surabaya tidaklah murah. Setelah satu bulan saya belajar, akhirnya saya mengantongi score toefl ITP 500, sebuah nilai yang jauh di luar dugaan.

Rintangan kedua adalah ketika saya memburu LOA (Letter of Acceptance). Setelah dari Pare, saya mendaftar di magister ilmu susastra Universitas Dipenogoro kemudian bergegas mengikuti test PAPS (Potensi Akademik Pascasarjana) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alhamdulillah saya lulus di kedua test tersebut dengan nilai PAPS yang cukup memuaskan. Namun sayangnya, saya harus melepaskan tiket masuk ke Undip karena pihak kampus tidak memiliki kebijakan untuk defer atau menunda kuliah. Terlebih, mahasiswa baru mengharuskan pembayaran di awal (kurang lebih 2 minggu setelah pengumuman). Galau? Jelas. Saya sadar, beasiswa adalah satu-satunya kapal yang membantu saya untuk sekolah lagi. Setelah menunggu satu bulan semenjak peristiwa tersebut, akhirnya saya merasa lega setelah dinyatakan lulus LPDP. Allah memang maha baik!

Sejujurnya, bersentuhan dengan ide-ide saat menulis essay, menjawab AO, hingga tiba hari substansi merupakan proses yang berhasil memporak-porandakan mental. Dari mulai rasa ragu, ingin menyerah, krisis percaya diri, gugup, dan sebagainya. Terlebih saya, tanpa mengurangi rasa bangga saya sebagai anak sastra, saya merasa kecil saat mengetahui ilmu sastra,budaya, linguistik, dan ilmu sosial sejenis berada di prioritas terakhir dengan passing grade sebesar 800. Kadang pula, saya merasa tidak memiliki kapasitas sehebat lulusan Jawa atau aplicant LPDP lainnya. Saya merasa, kegelisahan tersebutlah yang menjadi momok terbesar dalam perjalan panjang yang penuh drama ini. Jadi tips pertama saya, tetap tenang. “Rezeki tidak akan tertukar”, begitu Kata Anis, teman satu asrama saya dari Semarang. 

Profesi saya sembilan bulan lalu adalah seorang jurnalis. Saya menangani bukan cuma masalah tulis-menulis, tapi juga bagian edit-mengedit di sore harinya. Terkadang, seminggu 3 kali saya mengajar di sebuah bimbingan belajar di kota Balikpapan. Benar, ratusan mil dari Kampung halaman saya, sebuah daerah perbatasan di Kalimantan Timur, Kabupaten Berau, saya terpisahkan oleh keluarga saya.

Akibat terlalu tenggelam dalam pekerjaan tersebut,  blusukan kesana kemari, mencari narasumber dan isu-isu berita Kota Balikpapan, saya tersadar betapa sedikitnya kontribusi yang telah saya berikan kepada tanah kelahiran saya.
Pertemuan saya dengan anak murid saat mengajar, atau saat liputan pendidikan menyadarkan saya beberapa fakta bahwa sebagian anak-anak di usia 6 hingga 11 tahun tidak gemar membaca. Padahal tidak ada satu pun daerah yang maju sepanjang sejarah kecuali masyarakatnya sadar akan pentingnya gerakan literasi. Namun di lain sisi, kebiasaan membaca tidak bisa terbentuk secara instant dalam diri anak. Perlu pembinaan sejak dini dengan melibatkan peran orang tua yang dapat diterapkan dengan kebiasaan mendongeng. Oleh karena itu, jika kebiasaan ini mendarah daging sesuai harapan demi terwujudnya sumber daya manusia yang cerdas intelektual dan emosional karna gemar membaca, saya ikut berbahagia. Apalagi bila saya ikut mengambil peran didalamnya, sungguh saya merasa lebih berbahagia.
Sebagaimana awardee lainnya yang memiliki resep tersediri untuk sampai pada tahap ini. Saya pun memiliki beberapa tip yang umum dihadapi pelamar LPDP.  Berikut saya jabarkan. 

  • Ikut di berbagai media sosial
Dari pengalaman saya, cara terbaik adalah dengan mengikuti berbagi grup diskusi pemburu LPDP. Entah itu Whatsap, telegram, maupun line. Salah satu yang sangat berkesan adalah ketika bergabung dengan grup "Keluarga Baru". Diperkenalkan dengan sesama scholarship hunter lainnya, saya merasa semangat teman lainnya menumbuhkan kombinasi perasaan yang mengalahkan rasa tidak percay diri saya. Di forum tersebut, kami belajar dengan intensif bagamana cara menulis esay yang baik, beragurgumen dengan santun, menjawab pertanyaan tanpa rasa gugup.
  • Perbaiki niat
Tidak Cuma jadi omong kosong, kembali pulang ke Indonesia dan mengamalkan ilmu yang telah kita kuras dari belahan dunia lain merupakan gol mutlak yang harus tertanam di diri setiap aplicant LPDP. Ingatlah bahwa mengejar beasiswa ini adalah satu babak baru dalam hidupmu untuk membangun proyek proyek mimpi masa depan Tanah air, bukan hanya mimpimu semata.
  • Telaah kembali goal yang urgensi
Sempat saya habiskan malam-malam saya untuk berkhayal dan berpikir, “Apa yang akan saya lakukan untuk Indonesia 7 tahun mendatang”. Syarat LPDP, bagi saya bukan sekedar “kembali” -sebuah kata kerja yang berarti balik ke tempat semula- Melainkan kembali mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Jadi, pikirkan kembali kontribusi yang sangat dibutuhkan Indonesia, minimal daerahmu.
  • Jadi diri sendiri
Saat AO, tidak ada yang perlu dirisaukan. Kamu hanya perlu jadi diri sendiri. Ketika dihadapkan dengan pilihan yang membingungkan, kamu hanya perlu tanya pada hatimu.
  • Latihan wawancara
Ini yang saya terapkan dari hasil nasehat salah satu awardee LPDP, semua kemungkinan-kemungkinan yang sekiranya akan akan menjadi pertanyaan saya ketik, dan saya jawab semaksial mungkin. Bedanya, saya tidak ingin menghapalnya. Saya hanya membaca terus menerus. Sisanya, kamu hanya perlu meyakinkan interviewer bahwa kamu adalah pribadi yang mereka cari.

Mengakhiri tulisan ini, saya sedikit mengutip tulisan Dewi Dee Lestari, “Kata-kata hanyalah petunjuk dan bukan realitas yang sesungguhnya, maka deskripsi atas pengalaman amat susah diungkapkan”. Tidak salah, tulisan saya hanya sebatas petunjuk yang kelak sedikit membantu situasimu. Proses ini bisa jadi  perjuangan yang melelahkan. Namun bila kita kembali menengok ke belakang, mengintip momen-momen saat tersungkur dan terjerembap pengalaman ini malah semakin mengesankan. Selamat berjuang!

Berau, 2017




Tidak ada kisah paling tragis dari kepergian seseorang yang kita cintai. Bukan sementara, tapi selamanya.

Adalah kakekku,  yang memintaku –cucu pertamanya- pulang ke kampung satu bulan sebelum ia benar-benar pergi. Memintaku untuk membawakan (hanya) satu pot bunga Aglaonema bermotif bintik-bintik merah dari Yogyakarta. Memintaku menekan perutnya yang sakit karena penyakit komplikasi yang selama ini ia derita. Memintaku untuk bercerita tentang G 30 S PKI yang kutahu hanya lewat filmnya Arifin C Noer.

Adalah kakekku,  guruku sejak kecil. Mengajari ku berhitung, belajar bahasa inggris lewat soundtrack-nya Titanic atau lagu-lagu lawas milik the beatles, mengaajariku nama ibu kota dari seluruh dunia agar aku bisa kesana suatu saat. Bahkan, passion ku dalam sastra adalah darinya. Setiap ia mengantarku ke taman kanak-kanak menggunakan sepeda, tak lupa ia bercerita tentang si kancil, abu nawas, atau cerita-cerita lucu ketika ia perang. 

Aku tau, Kai –sebutanku untuk nya- masih ingin tetap tinggal. Melihatku sukses, menikah, dan punya anak yang lucu-lucu. Ia punya harapan yang tinggi untuk terus bertahan melawan penyakitnya.
“Kalau kai sembuh, nanti kita bikin kebun lagi depan rumah,” katanya 3 hati sebelum kurasakan sendiri ia meradang lalu terbang melalui kapiler-kapiler tangan dan lehernya. 

Barangkali cinta tak selamnya bisa memiliki. Bahkan memiliki foto kami bersama. Sungguh, aku lupa minta foto berdua saat aku dewasa. Parahnya,  aku lupa berterima kasih dengan baik padanya, kenangan-kenangan masa kecil mungkin tak akan indah bila tanpa kehadirannya, yang dengan caranya masing-masing telah membuat kasih sayang Kai tak terlihat namun terasa hangat.

Mungkin, aku tidak tahu apakah hidupku selama  23 tahun ini telah membanggakannya atau tidak? Tidak tahu apakah aku pernah membuatnya bahagia, tidak tahu apakah aku pernah memberinya perhatian.

Aku membayangkan, apa yang kai lakukan disana? Sempitkah? Gelapkah? Sedih atau bahagia kah ia disana? Sambil memandangi foto terakhirnya dengan seragam  veteran berwarna kuning tua,  aku mentransendensi apa yang ku lihat dari bayangan kaca pada bingkai poto tersebut, dan menyadari bahwa kepemilikan pun tak lekang, bahwa terbebasnya kita dari rasa sakit adalah kedamaian sejati. Karena ku yakin, Kai telah damai disana.

***

"Apa kabar?" Aku rasa, itulah pertanyaan yang sesungguhnya, menggantung setiap pikiranku. Mengingat dan mendoakan nya di setiap momen yang sempurna. Ia, pengganti ayahku yang bahkan aku lupa di bagian mana aku pernah menanyakan kabarnya lewat telepon.Dan kini hanya menjadi menjadi sembilu penyesalan atas ketiadaan baktiku padanya.

Maka,kudedikasikan separuh cita-citaku untuk Almarhum. Lewat rezeki yang tanpa kusadari adalah permohonannya di setiap detik  kepada Tuhan.


Apa benar ini sebuah kutukan?Aku masih tidak menyangka bahwa menulis akan menjadi ladang penghasilanku setelah lulus kuliah. Aku kira aku akan jadi mbak-mbak kantoran nan cantik, bekerja seharian penuh di ruangan ber-ac, berdandan lengkap dengan eyeliner, maskara, dan lipstick yang merah.
Prediksiku salah, nyatanya aku memang dinobatkan menjadi penulis abadi di setiap rongrong waktu. Sejak sekolah, aku harus pusing dengan paragraf-paragraf novel, bait-bait sajak, serta kata-kata idiom. Lanjut ke bangku kuliah, entah mengapa aku mengambil jurusan sastra. Hingga kini, aku lagi-lagi memilih menulis sebagai pe-ker-ja-an-ku.  
Ya, kuli tinta, kata orang sastra. Kurasa inilah jawaban atas doa-doa orang di sekilingku ketika bilang “semoga ilmunya barokah ya” ketika aku wisuda. Ku rasa ini memang merupakan kutukan. Kutukan yang indah, tentunya.
Aku tidak mengeluh. Aku malah bersyukur. Toh, jadi kuli tinta masih halal, nggak nyopet apalagi ngemis. Intinya, berbaik sangkalah pada Tuhanmu, itu saja.Karena di tengah defisit negara yang
mengecewakan, dan corat marut kebingungan fresh graduate mencari kerja, aku masih bisa cari duit sendiri tanpa diiming-imingi secuil nepotisme.


Disela pekerjaanku yang blusukan kesana-kemari, mencari narasumber dan sedikit berita dari isu-isu kota, aku tengah disibukkan dengan aktivitas “merenung”.
Jadi, apakah aktivitas “merenung” itu?
Sejujurnya , aku sedang dikelilingi dengn perasaan sedih dan kecewa dengan diri sendiri. Pasalnya, ketika aku sedang mencari-cari beasiswa untuk lanjut studi, aku sempat berpikir, “ what i have done for almost 22 years living on earth? Have i contribute to people and country? What achievement that i got?” Kemudian pertanyaan-pertanyan ini aku tutup dengan rasa resah dah gelisah.
Apakah ilmu ku sudah bermanfaat? Sudah barokah kah hidupku dengan ilmu yang aku punya? why don’t i do something great for my future from first time ?
 Ah, hidup penuh dengan drama.
Setelah ku pikir-pikir, “Mungkin aku perlu belajar lagi...”
Butuh bertahun- tahun cahaya agar sinar bintang bisa sampai ke bumi, namun butuh waktu satu detik untuk menyadari bahwa handphone kamu hilang atau dicopet maling.

Malam kemarin, handphone pacarku hilang, dibeli 1 jam yang lalu sebelum kehilangan (pun bersama kotak beserta kartu garansinya). Entah kesialan macam apa yang menghampiri, smartphone  yang baru kami beli bersama di Andalas itu hilang seketika, ia yakin barang itu jatuh di sekitaran kostku saat ia hendak mengantarkanku pulang. Setelah menyadari kehilangan tersebut, kami bolak-balik menelusuri rute jalan dari Andalas menuju Kost. Hasilnya adalah NIHIL. Kami sepakat untuk menyudahi pencarian ini karena gerimis lagi ga asik diajak kompromi.

Seminggu yang lalu pun, aku kehilangan sebuah handphone. Blackberry gemini kesayangan berwarna pink dan tosca, terjatuh entah di belantara mana. Berhubung rute yang aku lalui sangat jauh (rapak-manggar), aku memilh untuk mengikhlaskannya.

Dari dua kejadian tersebut, aku dan pacarku menjadi pihak yang merugi. Walaupun hal ini terjadi karena keteledoran kami, sesungguhnya hati kecil ini mau nanya ketus, “Kok ga ada ya yang nelpon balikin hape? Kok nomor hape bb ga aktif lagi ya? Kok gada yang niat mau balikin hape sih? Udah dijual kali ya? Padahal ada nomor hapenya loh di kartu garansi. Nasib apa yang nemu smartphone plus virtualnya? Mimpi apa tu orang semalam...". Berkali –kali pertanyaan itu pun sering muncul dari mulut pacar setiap di jalan. Dia belum ikhlas.. aku pun sepertinya sama..

Aku rasa dunia ini sudah penuh dan sesak oleh manusia-manusia jahat. Tidak dipungkiri lagi, manusia zaman sekarang semakin serakah. Rasa “kasihan” sudah tergantikan oleh rasa “ingin punya”. Kepriben ya? Sekarang cuma bisa elus dada.  

Begitu banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa kita simpulkan dari kejadian buruk ini. Mungkin yang ngambil lagi butuh uang. Mungkin dia pingin punya gadget.  Mungkin dia lagi pingin main pokemon go. Mungkin... Namun harus se-serakah jua ia dengan hape butut gemini yang kalo dijual cuma laku seratus ribu? Tapi seratus ribu juga uang kali! Oh, mungkin buat neneknya..


Begitu lah kemungkinan-kemungkinan positif yang –seharusnya- dapat aku pikirkan kembali. Benar-benar butuh waktu satu detik untuk menyadari bahwa rezeki telah datang dan pergi. Harta hanya titipan, semudah itu Tuhan memberi dan mengambilnya lagi. Kata Ibu, “ambil hikmahnya, mungkin kalian kurang sedekah”. “Hehe, iya Buk”.
Mimpi buruk itu menjadi nyata, Sarjana.

Aku sempat berpikir, bagaimana jadinya bila aku jadi sarjana? 

Oke?
Atau
Nggak?
Entah.

Aku takut nganggur, itu saja. Aku takut aku sulit mempertanggungjawabkan ilmuku ke kehidupan sehari-hari, karna kata atasanku sewaktu PKL "jurusanmu itu nduk, ndak bisa jadi apa-apa, ndak bisa jadi duit". Benar, dadaku bergetar tatkala mendengar ceramahnya (hm mungkin lebih terdengar seperti cemooh?) yang membosankan.

PNS seperti dia memang membosankan, ku akui. Ditambah dengan sifatnya yang angkuh bukan kepalang, jadilah dia seorang atasan PNS yang berhak menghakimi hidup bawahannya. Aku yang sedang jadi mahasiswi magang waktu itu ya bisa apa selain diam. Toh dia bener kok, sekarang kerja harus pakai orang dalam, lewat pintu belakang lah, lewat jendela lah, jangan lupa selipannya. Tanpa itu, jangan harap bisa kerja. 

Entah kenapa Ibu ingin aku jadi PNS, yang berarti aku harus pulang ke kampung halaman. Di kampung ku, Ibu punya banyak "kenalan", masuk lewat ruang tamu pun monggo, bisa diatur. Asal "kenalan" Ibu harus terjamin posisinya.

Kalau Ibu maunya begitu, aku bisa apa selain diam? Berontak? Dengan cara apa? Demo? Adu argumen? Durhaka, tau.

Jujur, alasan terbesarku menolak keinginan Ibu adalah cinta. Cinta kepada pacar, tentunya. Sungguh aku tak ingin jarak mengalahkan kami, menjadi momok raksasa yang siap menerkam hubungan -yang sedang tidak baik- ini. Tapi aku juga tak ingin menjadi anak yang durhaka, lalu dikutuk Ibuku lantaran tak memenuhi harapannya. 

Mungkin aku akan segera menjadi batu, karena pilihanku. Aku tak pulang bu. Aku malah ingin sekali menetap di sini, di kota berlaut. Walaupun harus berpisah beberapa minggu hingga ia selesai bekerja. Setidaknya aku bisa bertemu dengannya setiap hari hingga bosan.



Sekarang, namaku menjadi lebih panjang, karena ilmu, karena sarjana. Aku tidak bahagia seperti manusia kebanyakan, sungguh. Aku masih tak ingin menganggur karna menunggu dua hal (re: interview dan dia) yang mendebarkan sekaligus sungguh tak enak.

Satu hal yang selalu terbesit dalam setiap doaku, "semoga aku tak salah jalan".
Amin, Tuhan.

Bpp, 3/5/16






 
Kata orang, kita mencari untuk ditemukan. Ada pula yang mengatakan, kita mencari untuk menemukan. Ternyata itu bukan omong kosong, tak salah setitik pun.
Aku suka badanmu yang tidak atletis, aku suka celah-celah matamu yang sempit, aku suka tabiatmu. Waktu lalu kita pernah bercakap dalam dialek melayu, agak aneh aku mendengarnya. Tapi kau selalu berhasil membuatku tetawa.
Kau bilang kau hendak ke sana, ke negeri jiran, dimana selalu kau temukan dialek tersebut disetiap saat. Aku iyakan. Aku hanya takut merindukanmu jika tidak ada jaringan telkomsel disana. Karna cinta kita hanya mengharapkan telpon selular, dan wifi-wifi gratis. Kuharap kau juga mengerti.
Disini aku akan baik-baik saja, sayang. Seperti pesanmu padaku sebelum pesawatmu lepas landas dari yogyakarta menuju jakarta lalu mengawang ke Malaysia. Aku hanya mengakhawatirkanmu sebab baru-baru ini kapal terbang berbau negeri jiran jatuh di laut cina selatan, penumpang dan awak serta puing-puingnya pun tidak ditemukan.
Dan seperti biasa, kau sibuk disana. Entah sibuk apa, aku tak bertanya. Yang kutahu pastilah tidak jauh dari musik tradisi yang kau geluti. Mondar-mandir, letih, dan linglung. Ada proyek, kau mengabariku tanpa kutanya. Aku paham maksudmu, pasti kau tak ingin membuatku lama menunggu pesan dan telpon singkat darimu kan? Aku sudah paham, sayang. Aku pun sering mengalaminya, datang pagi pulang subuh.
Enam hari kau tak mengabariku, aku tidak marah, aku hanya khawatir. Sudahkah makanmu terpenuhi, berapa batang rokok yang kau hisap dalam sehari. Guyonanku seperti  ”Jangan ngerokok terus. Nanti kau cepat mati. Aku pasti sedih”, sebenarnya itu bukan guyonan biasa. Aku memang tidak ingin kau cepat mati. Apalagi kita baru bertemu –kembali-.
Enam hari kau tak mengabariku, hampir seminggu. Aku seringkali kehujanan disini lantaran kau tidak lagi mengingatkanku untuk membawa mantel, aku tidak makan tepat waktu, aku tidak pernah tidur cepat, aku sempat flu karena dingin yang mengepung kota Samarinda, Kalimantan. Aku coba menghubungimu, kau bilang disana susah membalas. Perlu kuingatkan sayangku, cinta kita hanya mengharapkan telpon selular, dan wifi-wifi gratis. Jarak semakin jahat.
***
Setidaknya aku sudah terbiasa soal jarak dan waktu. Disini aku pun sibuk dengan kegiatanku, latihan yang tiada henti dan analis-analisis novel yang belum rampung. Dahulu ketika perjalanan pertamamu ke Gunung Bromo, kau pun tak mengabariku tiga hari. Kau hanya mengirimkanku sebuah foto dengan background kabut-kabut subuh. Tidak masalah bagiku, aku turut bahagia. Aku paham, kau adalah orang seni, setelah kau tempuh sarjanamu pasti kau habiskan musik-musik karawitanmu itu sebagai nafkah. Bukan sepertiku, musik hanya hobi.  Selebihnya aku hanya ingin menulis.
 Lalu kau berkhotbah panjang lebar.
 “Hobi dan bakat sama saja, toh dari hobimu itu kau sudah pernah merasakan uang dari hasil manggung”, katamu dari ujung telpon.
Sayang, kutahu kita tidak terikat, aku bukan kekasihmu lantaran kau belum pernah meminta dan aku belum pernah menagih. Namun ada baiknya kita tidak memiliki profesi yang sama nantinya. Walapun aku tidak pernah membayangkan kita akan hidup bersama.
Sayang, barangkali aku benar-benar kesepian, tapi tidak benar-benar ingin ada seseorang yang terus-menerus berada didekatku. Malam kemarin , ada lelaki yang pernah kucintai kembali menelponku, kuingat-ingat ada 3 panggilan masuk, namun aku berhasil menolaknya. Malam ini, ia kembali menelpon, kau tau kan betapa merasa bersalahnya jika tidak menjawab panggilan orang lain, apalagi seseorang yang sempat kau cintai hingga nafas dan jiwamu. Aku terpaksa mengangkatnya, walau setengah hati. Ia menanyakan kabar beserta tetek bengeknya. Jujur aku sangat terkesan, hatiku hampir luluh lagi.  Namun ku jawab sebisanya saja. Seperti di campur aduk perasaanku, aku memilih pura-pura ngantuk dan ingin tidur. Selepas itu aku tidak bisa tidur semalaman.
Aku memilih bungkam saja mengenai kejadian itu. Sebab aku ingin menjaga perasaanmu, menjaga hubungan yang aku tak tahu apa namanya. Yang jelas skor kita sudah satu sama.
Kemarin kita pernah bertengkar hebat. Bukan, bukan bertengkar hebat, namun amarahku saja yang membabi buta. Kau tak punya hati, sungguh. Kau biarkan jarak memenangkan pertandingan ini.
 “Aku hanya rindu, sebatas rindu, apa salahnya?” kau bilang begitu.
Ya Tuhan, kau begitu kejam berkata demikian. Aku bukan mendramatisir persoalan kemarin. Perempuan mana yang tidak sakit hati jika lelaki yang dicinta nya sedang merindukan masa lalunya. Sempat bertemu pula. Ah kadang kau tak berperasaan.
Sejak masalah itu muncul, aku mogok menerima telponmu. Kuingat-ingat sempat dua minggu lamanya, ku biarkan kau menyesali perbuatanmu, ku biarkan kau mencari-cariku, ku biarkan pula kau mengemis maaf. Bukannya kejam, tetapi aku hanya ingin membuatmu kapok. Ku yakin, hubungan ini sudah mulai cacat. Aku tak ingin kau berbual, maka dari itu aku sering menanyakan mu dua hingga tiga kali. Aku tak mau dibohongi, aku pun tak sudi bila punya saingain lain selain jarak.
***
Setelah aku menimbang-nimbang lagi memang ada baiknya kita tidak mengikat satu sama lain. Kau seorang pemusik, kau akan sering bertemu orang-orang baru, berarti wanita-wanita baru. Kudengar penari-penari ISI begitu memikat.  Sedangkan aku adalah seorang yang pencemburu berat.  Aku sadar, memang tidak ada komitmen diantara kita, kita tidak pernah bicara soal itu. Namun kuyakin hatimu bukan batu.  Aku percaya tangan-tangan tuhanlah yang mempertemukan kau dan aku, mendekatkan yang jauh dan memaafkan yang lalu.  Bukan tidak mudah memulai dari nol. Berteman dekat 4 tahun lamanya, lalu kau sempat kucampakkan (aku tak pernah berniat begitu). aku memang brengsek namun nyatanya kita saling mencari. Merindukan dalam jarak yang pekat, lautan dan daratan yang luas. Kurasa Jawa tidak selamanya jauh dari pandanganku, toh kita melihat bulan yang sama malam ini.
Sayang, Kau tahu aku pengecut kan. Memangilmu sayang di dunia nyata pun aku tidak pernah. Aku hanya berani menulis, yang aku bisa hanyalah menulis. jika aku sudah menulis tentangmu berarti hatiku pun sudah berhasil kau curi. Dan tebaklah, kau sudah lebih dari berhasil.