Hoho akhirnya kembali hidup di dunia ini. Lama nian ya ga nulis, dan ketika kembali ke kebiasan lama, ya seperti biasa -unadaptif-. Cerpen yang satu ini aLhamdulillah dimuat di harian terbesar di Kaltim, yaitu Kaltim-Post. Enjoy it, guys :D
Ilustrasinya aneh gitu :D
 

AKU (PURA-PURA) MATI

Aku sudah lebih dari sekedar mengenal bangunan ini. Segala sudut telah ku hafal aroma dan nikmatnya, dimana tempatku bercinta hingga ku puas. Bersama puisi dan ranggas senyum lelaki itu.  Bangunan ini jugalah yang mengenalkanmu, lelaki nyentrik, tidak terlalu ganteng, tidak kaya raya, tapi aku cukup bahagia. Tidak ada yang berubah sejak awal masuk kuliah 8 bulan yang lalu, kecuali lantainya yang sekarang lebih elit. Kecuali hawanya yang tak sehangat dulu, lantaran AC bertambah satu lagi dan tak ada kehangatan.
Sudah satu minggu aku meliburkan diri belajar. Dan tentu saja tempat sampahnya makin jorok, karpetnya bau kaus kaki, ah apalagi kisahnya. Menyedihkan. Sebatas kamuflase hati.
“Kau akhirnya datang,” aku tersenyum dan bicara di dalam hati.
Kau tetap berjalan melewati bangkuku, menuju bangkumu. Biasanya kau selalu menghampiri aku yang lebih banyak diam dan pasif. Namun kau tak bisa berbohong. Aku melihat Kau seolah mencuri curi, bahkan melempar pandangan untuk melihat mataku. Seperti takut. Aku bisa merasakannya. Seketika itu pula aku jadi salah tingkah, aku memang bodoh untuk menjadi lebih adaptif.
“Ayolah, ayo, sapa aku. Aku rindu, tau”, aku bicara dalam hati lagi, berpura-pura  membaca novel. Padahal aku sedang mengamatinya di balik novel ini.
Dan benar kataku. Sugesti itu berhasil. Kau berbalik badan, secara cepat, derap kakimu dapat ku dengar dengan baik, menuju arah bangkuku.
“Ha.. hai. Tugaasmu..” Kau berbicara dengan hati-hati. Aku sangat mengenalmu. Suaramu yang lebih halus, matamu yang lebih rindang. Belum sempat Kau melanjutkan omonganmu, tiba-tiba mataku menjadi liar. Aku kerasukan.
“Hai tinja. Iya, aku sudah tau!”, darimana muara kata-kata kasar dan asing itu, aku tak tahu. Seluruh emosi terperangkap  ketika aku tak sengaja melihat cincin emas melingkar di jari manis kananmu. Dendam semakin melingkari kening, naik ke ubun-ubun, masuk ke pori pori kulit kepala, dan lumer pula lah di penjuru otakku.
Sekonyong-konyong mereka memandangiku. Aku tak peduli dengan yang lain, segala telinga pasti mendengar kalimatku tadi. Bagiku, yang lain adalah figuran, yang lain adalah tokoh pembantu yang tidak begitu penting. Tokoh utamanya hanya AKU, KAU, DAN DIA. Bukan mereka.  Matahari terbit darimana, terbenam dari mana. Aku juga sudah tidak peduli.
Bergegas aku keluar kelas, membawa beban berat kamus di tangan kiri dan biola di tangan kanan. Aku sadar kejadianku akhir-akhir ini sudah menjadi kontroversi seisi kelas. Usut punya usut, ternyata se antero kampus juga sudah tau tentang kontroversi ini. Aku yang miris karena ditinggal calon kekasihku menikah. Kau yang lebih memilih calon bayimu daripada aku dan segala kontroversi yang lain.
***
Hari-hari sebelumnya aku lebih sering menenggak racun. Tuhan kadang tak adil, biarlah aku ber-suudzan ria. Mungkin agar di lain waktu aku menjadi kuat dan tegar. Ah kalau ku ingat-ingat lagi, manusia tadi seperti binatang. Kliwatan.Memang, kuakui,  Aku jatuh hati dengan maanusia bernasab tionghoa itu, matanya sayu, tapi prilakunya seperti binatang.
Karna manusia hina itu pulalah aku tidak bisa membedakan yang mana benar dan yang mana salah, yang mana yang benci, yang mana yang cinta, yang suka yang duka, bahagia dan lara. Aku pernah menamparnya, mencekiknya, hingga babak  belur. Tapi Aku belum puas, kau tetap saja merampas perasaanku. Kau bilang aku ini terserang penyakit tragis bernama kleptomania. Ya benar, aku memang klepto. Tapi aku tidak terbiasa menjadi klepto jantung yang bukan milik ku, milik wanita lain.
Aku berusaha mawas diri ketika undangan itu sampai di tanganku. Warna coklat, warna kesukaanku. Dasar binatang, padahal dia sangat tahu warna kesukaanku. Seandainya saja yang tertulis di undangan itu adalah namaku dan namamu, tentu saja tak akan ku hancurkan.  Tak akanku cabik cabik dan kubakar habis. Namun sudah kepalang basah, abunya seperti nikotin yang membuatku candu untuk menangis.  Bermatikan diri, aku pura-pura mati. Jelang hari lamaran Kau masih saja menemuiku, Aku masih bercinta bersama rindu yang seharusnya ku musnahkan. Kau pasti tahu aku sangat terpukul, tapi kenapa kau selalu datang.
Semua orang bilang aku salah. Tapi lebih bajingan mana Kau dan aku?  Lebih jahanam siapa?  Memang aku alfa. Kealfaanku sangat fatal dalam bercinta dan menganalisis surat-surat picikmu yang klise.
***
Suatu hari, aku pernah memintamu pergi. Seperti si Dia yang memintaku lenyap dari harapan. Dia melefonku dengan suaranya yang sendu dan kasihan. Aku tidak bisa untuk tidak iba.Dengan lembut Dia memintaku untuk pergi, kata-katanya seperti permainan. Kasar namun lembut. Aku dengar-dengar Dia adalah seorang penyanyi kampung, suaranya lembut, parasnya elok. Sayup-sayup aku dengar isakan tangisnya, aku semakin iba. Bagaimana tidak, kami sama-sama wanita dan bayi di dalam rahimnya itu butuh seorang Bapak. Suaranya mengecil, aku iyakan segala permintaanya. Namun aku tak pernah seburuk itu kan untuk memintamu pergi? Aku tidak mau dikasihani.  Dan dengan enteng, kau berkata iya, mengangguk, dan menyetujui permintaanku.  Kau seolah sangat bahagia aku bisa berpikir bijak. Tapi aku yakin, dadamu juga sesak dengan air mata. Ah, tapi entahlah, namanya juga binatang.
Malam-malam berikutnya Kau tetap datang, aku sudah menutup hati. Walaupun tidak rapat.
“Jangan gini terus. Aku tertekan. Aku sudah mengambil keputusan, aku juga takut kehilanganmu. Aku benci di bilang tidak bertanggung jawab , tapi aku juga benci menjadi munafik.” Raut wajahmu tampak mengemis.
Aku diam saja, dalam pikirku aku berkata,” orang di depanku ini lucu, tapi brengsek.”
“Jangan diam , jangan gini terus, sangat sulit lupakanmu. Kau marah karna aku tidak bisa penuhi janjiku?  Honey, janji-janji itu ada sebelum ada kejadian ini. Angan-anganmu  dan aku ternyata ada halangan.
Aku bungkam. Kata-katanya lumayan menelanjangi batin. Aku biarkan segala perasaanku tertawa sekencang-kencangnya. Menertawai kata-katamu yang hampir buatku kerasukan lagi. Aku yakin, kau pasti sudah berlatih didepan kaca untuk mengatakan hal demikian denganku. Atau Kau sudah professional mengambil hati wanita dan dengan gampangnya menghidupkan alibi. Aku semakin bungkam.
“Honey , ayo ngomong dong.. dari awal kan kita sudah memulainya pakai hati, bukan pakai logika. Biarkan ini menjadi kisah-kisah yang tidak akan mati di ingatanku. Aku tidak akan tenang duduk di pelaminan kalau kau tidak iklaskan dan maafkan aku”
Pelaminan. Mendengar kata “pelaminan”, seketika itu pula hati ku geram. Aku tidak bisa lagi bersabar, padahal aku sudah mati-matian melapangkan hati. Tapi tanganku dengan lapar memakan pipimu, tamparan yang luar biasa batinku. Aku belum puas.
“Kau boleh makan kisah-kisah bullshit itu. Janji-janji taik! Coba aja kalau Kau yang jadi aku! Kenapa kau tidak mati saja? Ngomong sama binatang tuh bikin banyak dosa ya” Aku pergi kembali ke rumahku. Meninggalkanmu.
Aku tumbang.  Pura-pura mati.

***

N

Nb: Kalo mau copas,ijin dulu !