Aku bingung, mengapa setiap manusia mengalami dinamika? Mengalami dinamik singkat bahkan berkepanjangan.  Padahal mereka tidak perlu keluar dari zona rasa nyaman. Bahkan tidak perlu menjadi orang lain. Yang ada, mereka malah menjadi pencundang kelas tengiri.
Seperti temanku, namanya Kuncoro. Walaupun namanya terdengar kejawa-jawaan, tapi dia toraja tulen. Makhluk ter-intorvert di lingkunganku. Setiap hari kerjaannya hanya membisu, mengamati alam semesta dari bangku paling belakang. Setiap ku tanya ini-itu, dia hanya mengangguk. Bahkan teriakannya pun tak bersuara. Aku pernah menduga dia mengalami penyakit neurosis, penyakit agak gila yang menyerang homo sapiens alias manusia apabila logika dan mental tidak seimbang.
Rambutnya gondrong, tidak terurus. Aku mengira dia memang sengaja membiarkannya berantakan. Agar terlihat cool. Pasti.  Tapi tetap saja dia terlihat aneh. Matanya sayu, omongannya ngelantur, jalannya sempoyongan, kadang dia hanya membawa satu buku yang di selipkan di saku jeansnya saat kuliah. Dulu aku juga sempat berpikir kalau dia seorang pengguna ekstasi. Sungguh pikiranku picik waktu itu.
Aku tahu dia suka menulis. Kadang hobinya itu membuat dia sok jagau saat tukar menukar gagasan denganku. Dia aneh. Dan aku sudah terbiasa dengan keanehannya tersebut. Aku tidak ingin melihatnya satu perangaipun menjadi lebih baik atau lebih buruk. Itu sudah pas.
Dia lumayan ganteng. Menurutku. Walaupun seribu orang sudah menyanggahnya. Aku yang paling berfikir kritis tentang semua tingkah laku Kuncoro. Aku ingin masuk ke dunianya, ke dunia neurosisnya. Hingga aku mulai tahu tentang sedikit latar belakang kehidupannya tatkala diam-diam ternyata dia menyukaiku. Aku tidak terlalu terkejut. Siapa sangka manusia setengah bisu tersebut bisa menjadi orang yang terspesial di hidupmu. Dia misterius. Seperti angin muson barat yang sulit ditebak. Aku sangat suka perangainya. Ajaib. Dia adalah pena.
Kuncoro adalah kawan yang baik. Dia memiliki analisa yang luar biasa. Bagiku dia adalah manusia yang cukup cerdas setelah kutahu dia tak pernah merasakan bangku SMA. Analoginya tak pernah meleset barang satu strip pun.
Hingga suatu saat dia menghilang. Dan aku takmpernah sedikitpun bertegur-sapa saat bertemu. Aku tidak ambil pusing. Aku tetap ingin masuk ke dunia neurosisnya.
Pernah suatu pagi kudapati ia tidak bertingkah seperti biasanya. Ia tak lagi duduk dibangku belakang. Melainkan maju ke podium tengah lalu maju ke depan sekali. Begitu seterusnya. Kalau bisa kutebak, kurasa ia jatuh cinta lagi. Kepada wanita-wanita yang sudah mencuri padangannya.
Esoknya ku temukan lagi ia tidak gondrong. Ia memotong rambutnya lebih rapi dan lebih pendek. Sekali lagi aku bingung. Setan apa yang telah mengilhaminya untuk potong rambut. Setan cinta mungkin. Matanya tidak sayu lagi. Ia berubah. Namun tetap setengah bisu.
Hidupnya serba klasik. Aku iri. Ia jarang memikirkan lingkungannya. Acuh tak acuh namun npeduli dan berjiwa sosial tinggi. Dari kejauhan aku melihatnya hampir memasuki gerbang kampus, rindang, damai, bersama kawan-kawanku - kawan-kawannya- juga. Sekarang aku lebih sering melihatnya memamerkan gigi, bercanda dan ikut tersenyum jika ada lelucon. Aku benci dia yang sekarang. Yang lebih rapi, lebih simetris, lebih hidup. Aku lebih suka yang dulu, saat dia bertindak kritis dengan kepulan asap-asap rokok.
Pernah aku bertaruh dengan kawan dekatku, aku berkata, “Kau mau tarunan? Kalau Kuncoro berani angkat tangan dan bertanya dengan dosen ini, aku mau belikan kau pulsa seharga 50.000. Lihat aja”
“Serius? baiklah, kita lihat saja”,
Dan alangkah terkejutnya aku, saat tebakanku meleset sama sekali. Dia sangat aktif, dengan analisanya yang cerdas ia mengemukakan pendapatnya. Walaupun dengan sifat malu-malu dan tidak sopan. Dan dia bertanya, hal-hal yang memang pantas ditanyakan. Aku kalah. Mungkin ini yang mereka sebut dinamika. Perubahan hidup yang terkadang terasa risih pedih menindih, semena-mena, dan nyaris membesarkan hati. Baiklah, bawa aku, tuan Neurosis.