Ini rahasiaku tentang
isak dan bahagia, jaga rahasiaku seperti kau menjaga ibumu, janji ya. Sebenarnya aku hanya berani bercerita kepada
telinga-telinga yang waras, bukan kepada kau, manusia yang tak ku kenal warna
bola matanya. Aku menulis cerita ini ketika aku setengah lumpuh dalam
kegalauan. Sudah 3 hari terakhir aku
menangis terus. Mau makan meringis, mau tidur meranyau, mau bangun tidak ingin
bangun, dan mau tidur sampai lupa bagaimana caranya tidur. Begitulah saat
logika dan perasaan sudah porak poranda. Tidak seimbang. Berat sebelah. Butuh
penyeimbang dari alam atas sadar, karena alam bawah sadar sudah menyerah, tidak
mampu menolong.
Kau perlu tahu, sekarang
tidak ada fajar di mataku, hanya remang malam. Semuanya telah hilang. Buram. Aku
sudah seperti orang gila di kamar ini, tidak ingin keluar kemana-mana. Aku
sudah terkepung harum parfum mawar di
kamaar ini , Avril rose, aku hapal. Apalagi bisikannya, menggema sampai-sampai
mengalahkan teriakanku yang minor. Aku
hampir mampus. Ya tuhan, biarkanlah aku mampus bersama dosa-dosa dan kehinaanku.
Begitu doa ku setiap hari. Dia lah manusia paling biadab, pria bernasab melayu,
bermata terang dan besar.
Kau perlu tahu, perutku
sudah tidak tesentuh makanan dua hari lamanya. Berharap apapun yang akan hidup
di perutku akan segera mati. Tapi kenapa perut ini makin membesar, makin
membesar, membuncit. Untuk itu aku mecarinya. Bara.
Aku rasa ada yang aneh dengan
kamar ini. Dari sudut ujung dekat lemari sampai sudut dekat kasur, persegi ini
lebih mirip area dilarang tertawa, area galau. Seperti ada gravitasi di balik
ubin-ubinya yang menarik masalah gila ke permukaan. Seperti debu, banyak
sekali. Seperti debu bertebaran, menyesakkan dada, pernafasanku sesak. Mari ku ceritakan rahasiaku sejak tiga bulan
yang lalu...
Akhir-akhir ini tidurku
makin gelisah. Tidak ada sore dan udara makin meranggas. Lebih-lebihnya kalau
gelap sudah menggulita-i senja. Semuanya seperti siang, yang ada sisa terik
tadi siang, membakar hawa sekitar kamarku. Aku tidak bisa tidur nyenyak. Selalu
terjaga oleh bayangan siang.
Aku selalu mengeluh dengan
kakak kost sebelah kamar, ternyata dia juga kepanasan. Aku pernah meminta
kepada paman untuk memindahkanku di kamar bawah. Bukan meminta, tapi memohon.Karena
aku rasa kamar di lantai bawah terlalu sejuk untuk ku tinggali beberapa tahun
kedepan. Paman kejam, kenapa ia tega menyuruhku tinggal bersama kakak kost yang
umurnya jauh lebih tua daripadaku. Aku pernah menanyakan hal itu kepada paman,
paman bilang aku ribut kalau main biola setiap hari, malah tidurnya yang
terusik sepanjang sore. Tapi lebih kejam lagi ibuku, kenapa ia tega
menitipkanku kepada paman yang baru saja menikah. Padahal umurku baru 16 tahun,
baru lulus SMP, masih ingusan, masih belum
bisa cuci baju sendiri. Apalagi dengan penyakit ku yang mengerikan. Ibu bilang aku
punya penyakit Achluophobia atau
Nyctophobia. Sejak umur 5 tahun aku memang takut gelap. Kalau lampu padam,
nafasku terlanjur cepat, denyut jantungku tak beraturan, berkeringat dan mual. Tapi
Ibu besikeras menitipkan ku di rumah Paman.
Aku baru tahu kalau
penghuni rumah ini suka tidur sore, bukan tidur siang. Alasannya pun sama,
karena kalau sore mereka punya banyak waktu untuk sekedar melepas penat. Gila.
Padahal sore adalah klimaks nya senin, rabu, jumat, semua hari. Sayang untuk
dilewatkan hanyak untuk sekedar tidur.
Aku adalah penikmat sore,
penikmat senja, penikmat matahari tenggelam. Tapi semenjak aku migrasi kesini,
banyak yang berubah. Aku menjadi peminta-minta hujan. Ya, hujan yang deras,
sederas-derasnya, dan waktunya pasti sore dan malam. Tentu saja, agar panas
kamarku tidak semakin menyengat.
Kamarku kecil, kurasa 3
kali lebih lebar daripada kuburanku nanti. Kata kakak-kakak disini, dulunya kamarku
ini bekas gudang. Kamarku menghadap barat. Ini dia penyebab mengapa panas
selalu hidup di sore hari.
Untuk itu aku punya
tempat favorit di lantai nomor dua stelah toilet. Iya toilet, kenapa? Karena
menurutku toilet satu-satunya tempat terdingin dan terlembab di gua ini. Aku
suka lama-lama disana, sampai kakak – kakak disini suka berebut antri dengan
ku, dia ogah didahuluiku, karena mereka pasti bakal telat turun ke kampus kalau
toilet aku yang pakai duluan. Aku bisa berak berjam-jam, mengangkang dua jam
lamanya, padahal tak ada satupun yang ku keluarkan, aku hanya mengkhayal,
mencari khayalan.
Tempat favoritku itu
adalah beranda. Bagiku beranda beda dengan kamarku, disini aku bisa main biola
sampai malam tanpa takut mati kepengapan, tak ada yang marah, kecuali kakak
yang tinggal disamping beranda, dia hanya memberi kode supaya aku tidak terlalu
nyaring mainnya. Kalau aku tidak peka, biasanya dia meng-kode terang-terangan,
Besok aku ujian , nja teriaknya. Mood ku
terbalik. Aku langsung berhenti, takutnya saja kalau tidak berhenti, dia tiba-tiba
datang, dan mnghunuskan penggaris besinya ke ulu hatiku. Aku bisa mampus. Dia
manusia yang menakutkan.
Aku suka menikmati senja
disini, tenang, damai, aku kembali hidup. Rasanya ingin ku pindahkan barang-barangku
ke sini, baju ku, kasur, lemari, celengan. Aku mau tidur disni saja. Setiap
penghuni rumah ini pasti menanyakan hal yang sama, kenapa aku suka senja? Dan
hipotesanya kebanyakan sama, otaknya kampungan.
“Ah kamu nja, eh sen,
kamu suka senja karena nama kamu senja juga kan?”, air muka ku langsung
berubah, ada amarah yang kutahan.
“Ya nja, eh senja, kalau
tebakan salah jangan langsung marah”, mereka pergi dengan sendirinya.
Aku bukannya marah
lantaran hipotesa mereka yang tidak masuk akal atau syaraf mereka yang terlalu
pendek untuk berpikir luas. Yang membuat aku marah adalah aku tidak suka
dipanggil “NJA”. Seolah-olah mereka menyamakan aku dengan tinja, nja, nja, nja.
Padahal sudah ku ulang berkali-kali, di awal pertemuan, di akhir pembicaraan,
aku tidak suka dipanggil nja. Dasar sinting. Umurnya aja sudah kepalah dua,
tapi untuk mengingat saja kalah dengan gajah.
Biasanya yang bisa
meredakan emosiku adalah teh hijau thailand seduhan ibuku. Tapi lantaran tidak
ada , penggantinya adalah kopi siap seduh yang rasanya seratus persen
berantakan. Pamanku menyurh berhenti minum kopi, tapi aku tidak peduli. Kalau
moodku kembali membaik, aku kembali juga menikmati senjaku. Di beranda ini, aku
mengenal Bara. Dia dan teman-temannya sering main musik di rumah besar sebelah.
Awal pertemuan, dia
memandang ku lama sekali dari kejauhan, aku juga membalas pandangannya. Dia
memakai kaos warna hitam dan jeansnya yang robek-robek. Keren sekali.
Esoknya di beranda yang sama, dia
menyapaku.
“SEN,” Aku tak mendengar.
Di ulangnya lagi, “SEN”
Aku diam. Kembali
mendengarkan dengan seksama. Takutnya aku salah dengar, dan terlalu percaya
diri.
Dia mengulang kembali, “SEN!”
Aku melengah ke
berandanya, dia tersenyum, saat itu juga hatiku bergetar, aku senang bukang
main.
“SENJA KAN? Boleh pinjam
pemantik?”
“Pemantik? Ya, sebentar”
Cepat-cepat ku cari korek
di dapur , kuturuni tangga, ku naikki lagi, aku terlalu bersemangat.
Aku datang cepat sekali,
dia tersenyum. Ku beri ia korek dapur. Lalu dibakarnya sebatang rokok. Rokoknya
mengepul, indah sekali.
“Terimakasih senja”
Kau tahu, semalan penuh
aku susah tidur karena pemantik saja. Eh bukan pemantiknya, tapi orang yang
meminjamnya. Aku senyum-senyum sendiri. Dari mana dia tahu namaku? Dan yang
paling kusuka , dia memanggilku SEN, Bukan Nja. Aku tidur ayam.Mataku bersinar
sekali.
Sejak saat itu aku lebih
cepat ke Beranda dari biasanya.
Pernah suatu hari, hari
yang kutunggu –tunggu , dia berjanji menemuiku, seperti biasa dia meloncati
pagar berandaku lantai dua. Hari itu lebih menyilaukan, Langit yang kulihat pun
lebih menyilaukan, biru, putih, abu-abu menyilaukan. Aku membawanya ke kamarku.
Dan kakak sebelah kamar tidak merespon apapun ketika aku membawa bara masuk,
kakak-kakak yang lain juga diam-diam saja. Malah ada yang menyapaku, “Senjaaaaa”,
sambil tersenyum. Padahal setahuku disini tidak boleh membawa pria naik keatas,
apalagi masuk ke kamar. Aku kegirangan.
Bara kepanasan. Aku juga
kepanasan. Dia membuka baju, aku juga mengikutinya, satu-satu melucuti kaos
panjang ku. Kami bicara banyak, tentang musik kesukaannya. Tentang musik
kesukaanku, dan tentang bagaimana selera musiknya sudah merubah selera nafas
musik ku. Aku suka klasik, kadang jazz, kadang, swing, kadang pop melow,
semuanya serba lembut. Makanya aku memilih violin, aku cerita begitu. Namun
bara sudah merubah semuanya. Sekarang aku suka scream, kadang pop rock. Cinta
memang gila. Aku percaya retorika itu.
Dia mengerti seleraku,
dia paham tentang biola. Tentang bow yang jorok lantaran rowsin yang bercampur
dengan keringat. Tentang lagu-lagu klasik yang ku suka, tentang kecintaanku
dengan dinamika piano pianissimo dan decresendo. Aku bicara dengan cepat,
kegirangan setengah mati.
Saat aku bicara cepat,
tiba-tiba dia menciumku, menciumku di bibir. Kau perlu tahu Bara, itu pertama
kalinya aku mengunyah bibir laki-laki. Rasanya hambar. Dulu waktu SD, aku
pernah tidak sengaja menonton film yang ada adegan ciumannya. Aku bilang ke
Ibu, kalau aku tidak mau ciuman sampai kapanpun, lantaran aku jijik kalu
tertelan ail liurnya, nanti kalau ternyata yang laki-laki belum sikat gigi
gimana bu?
Ibu ku tetawa saja, dia
bilang kalau anak kecil tidak boleh ciuman, kalau ciuman nanti bisa hamil.
Ibuku tertawa kecil, aku masih ingat mimiknya.
Aku geleng-geleng kepala,
sejak saat itu aku tidak berani dekat-dekat dengan lawan jenisku.
Tapi Bara sudah memecahkan
rekor, aku tidak muntah, aku tidak jijik. Aku terbang melayang. Hari itu aku
bisa lihat anatomi tubuh Bara, aku lebih-lebih mengenalnya. Aku makin cinta ,
bara.
Keesokan harinya aku
menunggunya di Beranda tempat hati kita
saling mengadu. Bara datang telat. Aku tidak kecewa. Wajahnya pucat, pucat
sekali. Aku makin minder, Dia semakin putih bersih, mirip malaikat.
Dia bertanya,
pertanyaannya membuatku gugup, seperti teriris.
Senja, Kalau aku hilang,
apa yang akan kamu lakukan?
Aku menjawab tanpa
berpikir, aku akan mencarimu, Bara.
Dia tersenyum, manis
sekali. Dia bilang aku gadis yang manis juga, pikiranku satu strip lebih waras
daripada pikiran kakak-kakak kost ku. Aku dewasa, katanya. Dan dia
sangat-sangat menyukaiku.
Aku tidak mengerti
sebenarnya apa itu dewasa, aku belum paham.
Yang ada di otakku dewasa berarti jarang menangis. Aku jarang menangis,
berarti aku dewasa. Yang jelas aku tidak mau kehilangan Bara. Bagiku dia lebih
dari panasnya api, lebih dari panasnya bara sungguhan.
Wajahnya makin pucat, aku
tidak suka, walaupun wajahnya tampak lebih mirip malaikat. Tapi tetap saja
seperti orang sakit. Ku ambil vitamin milik paman, ku berikan kepadanya semua.
Mungkin aku lebih pantas disebut pencuri vitamin, tapi semuanya demi Bara. Aku
sering juga membawakan makanan kesukaanya, kari ayam, aku ambil diam diam dari
dapur. Aku kembali mencuri. Beruntungnya istri paman sangat menyukain makanan
itu. Kami makan bersama, aku lihat caranya berdoa, tenang, damai. Aku senang
melihat dia melahap-lahap, melahap, melahap hingga tandas.
Kami lakukan semua di
beranda kami, ku sebut beranda kami. Kami tertawa hingga membangunkan kakak
pemilik kamar sebelah teras, aku tak peduli. Yang penting aku melihat rentetan
giginya yang putih dan bersih. Rapi , senyumnya dan setengah lingkaran senyum
merah mudanya. Komplit, Bara adalah malaikatku.
Biasanya sehabis latihan
musik, dia datang ke beranda dengan tergebu-gebu.
“Aku mau kari ayam”,
katanya.
Aku segera pergi ke dapur
bawah untuk memeriksa dibawah tudung.
Tapi dia menahanku
“Aku mau kari ayam
buatanmu”, katanya lagi.
Aku terpingkal-pingkal.
Bocah sepertiku mana mungkin bisa masak. Cuma bisa menghabiskan masakan. Aku
masih terpingkal-pingkal. Ajaibnya aku mengiya kan.
Dia tersenyum, lebih
manis dari biasanya. Dia menarik tanganku, mengajakku buru-buru masuk kamar.
Dia terseret-seret macam anak kecil minta gulali atau mainan. Kali ini dia menciumku,
lagi. Aku tak menyuruhmu menyikat gigi seperti hari-hari sebelumnya, aku tidak
jijik lagi. Dan kami juga tidak menyikat gigi, aku tidur dengan kerak kari,
serpih sayur, dan serat ayam di sela-sela gusi. Aku tentu saja tidur di
lenganmu. Rasanya damai. Kamarku tidak pengap lagi.
Kalau Bara sudah pulang, biasanya aku susah tidur,
bukan lantaran kamarku pengap, atau udaranya yang meranggas. Aku susah tidur
karena memikirkan Bara, begini gilanya jatuh cinta. Aku baru mengerti dan merasakan
di umurku ke 16 tahun. Apalagi dengan perkataanya kemarin.
“Bagaimana kalau aku
menggilang”
Itu saja yang mengiang-ingan di pikiranku,
berulang kali hingga aku merasa mual. Aku mau muntah. Tapi tidak keluar sedikit
pun apa yang ingin ku keluarkan.
Bangun tidur pun aku mual
lagi. Aku pergi ke wetafel, namun tidak ada yang keluar. Kembali lagi aku kamar.
Sampai di kamar, aku kembali ingin muntah, aku segera ke toilet, tapi nihil.
Tidak ada satu pun yang ingib keluar.
Kakak yang lain melihati
ku. Aku tidak bisa diam.
“Aku masuk angin”, skak
mat!
Mereka langsung berhambuh
pergi. Dasar kecoa, umpatku.
Seperti biasa , aku
menghabiskan waktuku di beranda lantai dua. Aku masih mual tapi aku berdandan
lebih cantik seperti biasanya. Aku memakai bedak, memakai lipglos, eyeliner,
maskara. Berulang-ulang ku check nasib wajahku yang lebih mirip topeng monyet.
Ingin ku hapus saja rasanya. tapi kata kakak kost yang ku paksa untuk
memdandani ku, aku cantik sekali. Sebenarnya aku ogah berdandan, tapi ku lihat
Kak Betty tampak mahir berdandan, ia berpengalaman, setiap ke kampus ia
berdandan, ke gereja dia berdandan, ke pasar malam dia berdandan, ke toilet
berdandan. Kata pamanku mungkin dia ayam kampus. Aku tidak paham ayam kampus
itu apa, mungkin dia punya pekerjaan sampingan sebagai badut di kampus , begitu
pahamku.
Dua jam aku menunggu, Dua
jam sperempat, Dua jam setengah, hampir bedak ku luntur, yang tersisa hanya
eyeliner. Aku tidak kesal, aku hanya khawatir. Ego ku sudah kulunturkan, aku
tidak pernah kesal dengannya. Studio musik kecil di samping rumahku sudah tidak
terdengar bisingnya. Sisa sayup-sayup demo yang belum rampung. Diulang terus
menerus hingga aku bosan.Aku menengok ke beranda sebelah.
Ada lelaki berkaos hitam,
aku kira Bara.
“BARA!” teriakku
Lelaki
itu melengah, bukan Bara, aku kecewa.
“Ada Bara disitu?” aku
teriak, mengalahi sayup-sayup demo
“Hah?” dia tak mendegar,
aku perlu lebih kencang lagi
“’Ada Bara disitu?” aku
berlomba dengan speaker studio, mengalahi sayup-sayup demo.
“Oh, tidak ada yang bernama
Bara disini!” dibalasnya lagi dengan teriakan
Aku lebih kecewa. Tapi
aku tidak pernah menginggalkan beranda kami. Dia tidak pernah tidak menepati
janji. Mungkin Bara lupa. Aku menikmati sendiri senjaku, hingga gelap, hingga
tidak bewarna. Aku tidak menangis, Bara melarangku.
Jadwalku sepertinya makin
bertambah, setiap pagi aku ke toilet, ke westafel, sampai-sampai kakak kost
menggedor gedor pintu toilet. Mungkin sebentar lagi pintunya mau ambruk. Aku
keluar dan aku di semprot dengan kecoa satu ini.
“Kamu ngapain sih di
dalam? Muntah lagi? Mual nja? Kamu hamil kali! Dasar aneh!”
Brengsek, lagi-lagi dia
memanggilku Nja, padahal dia yang lebih mirip tinja. Aku diam saja, malas
mengumpat, tapi apa jangan-jangan perkataannya benar? Tidak mungkin.
Aku kembali ke beranda, Bara
tidak pernah datang hingga dua minggu, tiga minggu, sebulan. Ia tidak pernah datang lagi. Maafkan
aku Bara, aku harus menangis.
Hingga kutemukan pagiku
yang hening, aku kaget bukan kepalang. Perutku membesar, perutku membuncit. Ada
yang hidup di dalamnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak bisa bayangkan
bagaimana kalau ibu tahu, dan ibu akan memukulku lagi dengan tangannya yang
kasar, dengan benda-benda di sekelilingnya, sepatu bahkan sapu. Persis saat aku
berkata kalau aku tidak mau sekolah lagi. Ibu adalah monster kedua yang
kutakuti setelah ayah.
Dan tiba-tiba ada yang
mengetuk pintu kamarku. Aku curiga kalau itu adalah Bara. Aku tergopoh-gopoh
membuka pintu. Tebakan ku salah, wanita separuh baya masuk kamarku, tanpa
sepatah-dua patah pun, tanpa izin. Dibelakangnya ada paman dan bibi. Paman
bilang jangan takut, dia Cuma mau tanya-tanya tentang keadaanku.
Pertanyaan pertama di
buka, “apa kabar, senja”, aku tak menjawab.
Sampai ke pertanyaan ke
bilangan sepuluh, sebelas, lima belas, dua puluh. Dia mengorek semuanya,
tentang bara, tentang perutku yang membuncit, tentang suara scream di rumah
sebelah, ia lebut, kadang tegas. Aku tidak tahu dia siapa, darimana, apa
kaitannya dengan masalahku, dengan keluargaku.
Sampai aku bosan, aku tidak
mau lagi menjawab. Dia keluar dengan senyumnya yang tulus. Dia memberiku Baby
Breath, bunga kesayanganku, putih selembut kapas. Dia pergi dengan senyum yang
kurindukan, lebih ku rindukan daripada senyum ibu.
Mataku semakin bengkak,
aku menangis sepanjang malam. Aku tidak mau keluar kamar. Hingga bibiku yang
baik hati membawakanku kari ayam, aku malah melemparkannya, kari ayam
mengingatkanku pada Bara. Malaikatku yang hilang. Dan perutku semakin
membuncit, ku elus-elus perutku, perutku yang ku cinta dan apapun yang ku
cintai di dalamnya. Paman semakin iba jika melihatku, dia tidak marah, ibu
sepertinya juga tidak marah. Kakak kost disebelahku juga tidak marah, dia
melihatku malah kasihan, dia tidak pernah memarahiku lagi.
Hingga suatu hari Paman memanggilku
turun kebawah, Sepertinya serius. Ia melihatk mataku bengkang , sesak bekas air
mata. Tapi dia diam saja, tidak menanyakan sepatah pun. Mungkin dia tahu aku
habis menangis. Bilang ayah, semakin dewasa seseorang, semakin jarang ia
menangis di muka umum.
“Menangis lagi,
senja? Di anak tangga , ia membuka
bicara
Aku kaget, tebakan paman benar, tidak meleset. Sejak itu aku
merasa gagal berpura-pura dewasa.
“Jadi anak jangan cengeng”,
ia menambahkan lagi. Uh, dia peduli apa, tentang kehamilanku saja dia tidak
peduli. Ku kunci rapat-rapat mulutku.
Sampai di ruang keluarga,
aku didudukkan di sofa. Aku penasaran.
Ku elus-elus saja
perutku, menunggu ia membuka bicara. Diseduhnya teh, ia minum, diambilnya
kacang, di kusap, lalu di lemparkan ke mulutnya yang gelap dan bau. Aku kketawa
kecil, senyum-senyum sendiri , kata Ibu
paman adalah saudaranya yang paling bau. Makanya paman paling lama dapat
jodohnya. Dulu Ibu cerita setiap aku tidak mau sikat gigi, aku masih ingat.
Makanya aku ketawa-ketawa.
Ha ha, bau jamban ha ha. Ku
elus-elus lagi perutku.
Paman berhenti
menyeruput, sepertinya dia mendengar umpatanku. Aku terbahak-bahak dalam hati.
“Senja , berhenti
mengelus-elus perutmu! Perutmu tidak membesar, tidak ada yang hidup disana. “
Aku diam, mataku memerah.
Mulai sekarang kamu tidak
usah tidar di atas, tidur sendiri lagi. Di atas banyak hantunya, ibu akan
datang. Tidur sendiri membuatmu berkhayal tinggi. Dengar itu senja
Aku makin bingung.
Semenjak
ada Ibu. Aku tidak pernah menangsi lagi. Perutku mengempes. Aku tidak pernah
melihat Bara lagi. Ibu bilang , dia tidak pernah ada. Aku bingung.
Dan wanita paruh baya yang sering
memberikan Baby Breath makin sering ke rumah, menanyakan kondisiku. Katanya aku
mengidap skizofrenia, penyakit jiwa dengan halusinasi yang berlebihan. Bara
memang hanya malaikat, dia tidak pernah ada, dia hanya menemaniku ketika langit
hatiku mendung, tak ada bintang sama sekali.
Sesekali aku berharap skizofrenia
ini kembali kumat, biar aku ketemu Bara, tapi nihil. Aku hanya menikati senja,
sendiri, dan mengirimkannya beberapa bait, biar bisa dia kunyah di surga sana.
Bara, Malaikatku.
Ku sebut
itu rindu
Yang
memuncak di ubun-ubunku
Tumpah dan
sesak
Tak sanggup
ku tampung, ku jejal
Dengan
memori tua yang rapuh
Tak ku
dapat lagi di kamar ini, Bara
Pria dan
cahaya bola mata sepertimu
Seutuhnya
tertinggal nun jauh di sana
Hati ini,
hati itu
Manis
Manis
Bengis
Ingin ku
lihat lagi
Seperempat
lingkaran merah muda
Mata-mata
yang menyatu dalam kenangan
Dan rinai
hujan
Aku ingin
kembali
Ingin
menuai rindu yang kau tanam di senja kita
Kost
Biru
N