Ini rahasiaku tentang isak dan bahagia, jaga rahasiaku seperti kau menjaga ibumu, janji ya.  Sebenarnya aku hanya berani bercerita kepada telinga-telinga yang waras, bukan kepada kau, manusia yang tak ku kenal warna bola matanya. Aku menulis cerita ini ketika aku setengah lumpuh dalam kegalauan. Sudah  3 hari terakhir aku menangis terus. Mau makan meringis, mau tidur meranyau, mau bangun tidak ingin bangun, dan mau tidur sampai lupa bagaimana caranya tidur. Begitulah saat logika dan perasaan sudah porak poranda. Tidak seimbang. Berat sebelah. Butuh penyeimbang dari alam atas sadar, karena alam bawah sadar sudah menyerah, tidak mampu menolong.
Kau perlu tahu, sekarang tidak ada fajar di mataku, hanya remang malam. Semuanya telah hilang. Buram. Aku sudah seperti orang gila di kamar ini, tidak ingin keluar kemana-mana. Aku sudah terkepung  harum parfum mawar di kamaar ini , Avril rose, aku hapal. Apalagi bisikannya, menggema sampai-sampai mengalahkan teriakanku yang minor.  Aku hampir mampus. Ya tuhan, biarkanlah aku mampus bersama dosa-dosa dan kehinaanku. Begitu doa ku setiap hari. Dia lah manusia paling biadab, pria bernasab melayu, bermata terang dan besar.
Kau perlu tahu, perutku sudah tidak tesentuh makanan dua hari lamanya. Berharap apapun yang akan hidup di perutku akan segera mati. Tapi kenapa perut ini makin membesar, makin membesar, membuncit. Untuk itu aku mecarinya. Bara.
Aku rasa ada yang aneh dengan kamar ini. Dari sudut ujung dekat lemari sampai sudut dekat kasur, persegi ini lebih mirip area dilarang tertawa, area galau. Seperti ada gravitasi di balik ubin-ubinya yang menarik masalah gila ke permukaan. Seperti debu, banyak sekali. Seperti debu bertebaran, menyesakkan dada, pernafasanku sesak.  Mari ku ceritakan rahasiaku sejak tiga bulan yang lalu...


Akhir-akhir ini tidurku makin gelisah. Tidak ada sore dan udara makin meranggas. Lebih-lebihnya kalau gelap sudah menggulita-i senja. Semuanya seperti siang, yang ada sisa terik tadi siang, membakar hawa sekitar kamarku. Aku tidak bisa tidur nyenyak. Selalu terjaga oleh bayangan siang.
Aku selalu mengeluh dengan kakak kost sebelah kamar, ternyata dia juga kepanasan. Aku pernah meminta kepada paman untuk memindahkanku di kamar bawah. Bukan meminta, tapi memohon.Karena aku rasa kamar di lantai bawah terlalu sejuk untuk ku tinggali beberapa tahun kedepan. Paman kejam, kenapa ia tega menyuruhku tinggal bersama kakak kost yang umurnya jauh lebih tua daripadaku. Aku pernah menanyakan hal itu kepada paman, paman bilang aku ribut kalau main biola setiap hari, malah tidurnya yang terusik sepanjang sore. Tapi lebih kejam lagi ibuku, kenapa ia tega menitipkanku kepada paman yang baru saja menikah. Padahal umurku baru 16 tahun, baru lulus SMP,  masih ingusan, masih belum bisa cuci baju sendiri. Apalagi dengan penyakit ku yang mengerikan. Ibu bilang aku punya penyakit Achluophobia atau Nyctophobia. Sejak umur 5 tahun aku memang takut gelap. Kalau lampu padam, nafasku terlanjur cepat, denyut jantungku tak beraturan, berkeringat dan mual. Tapi Ibu besikeras menitipkan ku di rumah Paman.
Aku baru tahu kalau penghuni rumah ini suka tidur sore, bukan tidur siang. Alasannya pun sama, karena kalau sore mereka punya banyak waktu untuk sekedar melepas penat. Gila. Padahal sore adalah klimaks nya senin, rabu, jumat, semua hari. Sayang untuk dilewatkan hanyak untuk sekedar tidur.
Aku adalah penikmat sore, penikmat senja, penikmat matahari tenggelam. Tapi semenjak aku migrasi kesini, banyak yang berubah. Aku menjadi peminta-minta hujan. Ya, hujan yang deras, sederas-derasnya, dan waktunya pasti sore dan malam. Tentu saja, agar panas kamarku tidak semakin menyengat.
Kamarku kecil, kurasa 3 kali lebih lebar daripada kuburanku nanti. Kata kakak-kakak disini, dulunya kamarku ini bekas gudang. Kamarku menghadap barat. Ini dia penyebab mengapa panas selalu hidup di sore hari.  
Untuk itu aku punya tempat favorit di lantai nomor dua stelah toilet. Iya toilet, kenapa? Karena menurutku toilet satu-satunya tempat terdingin dan terlembab di gua ini. Aku suka lama-lama disana, sampai kakak – kakak disini suka berebut antri dengan ku, dia ogah didahuluiku, karena mereka pasti bakal telat turun ke kampus kalau toilet aku yang pakai duluan. Aku bisa berak berjam-jam, mengangkang dua jam lamanya, padahal tak ada satupun yang ku keluarkan, aku hanya mengkhayal, mencari khayalan.
Tempat favoritku itu adalah beranda. Bagiku beranda beda dengan kamarku, disini aku bisa main biola sampai malam tanpa takut mati kepengapan, tak ada yang marah, kecuali kakak yang tinggal disamping beranda, dia hanya memberi kode supaya aku tidak terlalu nyaring mainnya. Kalau aku tidak peka, biasanya dia meng-kode terang-terangan, Besok aku ujian , nja  teriaknya. Mood ku terbalik. Aku langsung berhenti, takutnya saja kalau tidak berhenti, dia tiba-tiba datang, dan mnghunuskan penggaris besinya ke ulu hatiku. Aku bisa mampus. Dia manusia yang menakutkan.
Aku suka menikmati senja disini, tenang, damai, aku kembali hidup. Rasanya ingin ku pindahkan barang-barangku ke sini, baju ku, kasur, lemari, celengan. Aku mau tidur disni saja. Setiap penghuni rumah ini pasti menanyakan hal yang sama, kenapa aku suka senja? Dan hipotesanya kebanyakan sama, otaknya kampungan.
“Ah kamu nja, eh sen, kamu suka senja karena nama kamu senja juga kan?”, air muka ku langsung berubah, ada amarah yang kutahan.
“Ya nja, eh senja, kalau tebakan salah jangan langsung marah”, mereka pergi dengan sendirinya.
Aku bukannya marah lantaran hipotesa mereka yang tidak masuk akal atau syaraf mereka yang terlalu pendek untuk berpikir luas. Yang membuat aku marah adalah aku tidak suka dipanggil “NJA”. Seolah-olah mereka menyamakan aku dengan tinja, nja, nja, nja. Padahal sudah ku ulang berkali-kali, di awal pertemuan, di akhir pembicaraan, aku tidak suka dipanggil nja. Dasar sinting. Umurnya aja sudah kepalah dua, tapi untuk mengingat saja kalah dengan gajah.
Biasanya yang bisa meredakan emosiku adalah teh hijau thailand seduhan ibuku. Tapi lantaran tidak ada , penggantinya adalah kopi siap seduh yang rasanya seratus persen berantakan. Pamanku menyurh berhenti minum kopi, tapi aku tidak peduli. Kalau moodku kembali membaik, aku kembali juga menikmati senjaku. Di beranda ini, aku mengenal Bara. Dia dan teman-temannya sering main musik di rumah besar sebelah.
Awal pertemuan, dia memandang ku lama sekali dari kejauhan, aku juga membalas pandangannya. Dia memakai kaos warna hitam dan jeansnya yang robek-robek. Keren sekali.
Esoknya di beranda yang sama, dia menyapaku.
“SEN,” Aku tak mendengar.
Di ulangnya lagi, “SEN”
Aku diam. Kembali mendengarkan dengan seksama. Takutnya aku salah dengar, dan terlalu percaya diri.
Dia mengulang kembali, “SEN!”
Aku melengah ke berandanya, dia tersenyum, saat itu juga hatiku bergetar, aku senang bukang main.
“SENJA KAN? Boleh pinjam pemantik?”
“Pemantik? Ya, sebentar”
Cepat-cepat ku cari korek di dapur , kuturuni tangga, ku naikki lagi, aku terlalu bersemangat.
Aku datang cepat sekali, dia tersenyum. Ku beri ia korek dapur. Lalu dibakarnya sebatang rokok. Rokoknya mengepul, indah sekali.
“Terimakasih senja”
Kau tahu, semalan penuh aku susah tidur karena pemantik saja. Eh bukan pemantiknya, tapi orang yang meminjamnya. Aku senyum-senyum sendiri. Dari mana dia tahu namaku? Dan yang paling kusuka , dia memanggilku SEN, Bukan Nja. Aku tidur ayam.Mataku bersinar sekali.
Sejak saat itu aku lebih cepat ke Beranda dari biasanya.
Pernah suatu hari, hari yang kutunggu –tunggu , dia berjanji menemuiku, seperti biasa dia meloncati pagar berandaku lantai dua. Hari itu lebih menyilaukan, Langit yang kulihat pun lebih menyilaukan, biru, putih, abu-abu menyilaukan. Aku membawanya ke kamarku. Dan kakak sebelah kamar tidak merespon apapun ketika aku membawa bara masuk, kakak-kakak yang lain juga diam-diam saja. Malah ada yang menyapaku, “Senjaaaaa”, sambil tersenyum. Padahal setahuku disini tidak boleh membawa pria naik keatas, apalagi masuk ke kamar. Aku kegirangan.
Bara kepanasan. Aku juga kepanasan. Dia membuka baju, aku juga mengikutinya, satu-satu melucuti kaos panjang ku. Kami bicara banyak, tentang musik kesukaannya. Tentang musik kesukaanku, dan tentang bagaimana selera musiknya sudah merubah selera nafas musik ku. Aku suka klasik, kadang jazz, kadang, swing, kadang pop melow, semuanya serba lembut. Makanya aku memilih violin, aku cerita begitu. Namun bara sudah merubah semuanya. Sekarang aku suka scream, kadang pop rock. Cinta memang gila. Aku percaya retorika itu.
Dia mengerti seleraku, dia paham tentang biola. Tentang bow yang jorok lantaran rowsin yang bercampur dengan keringat. Tentang lagu-lagu klasik yang ku suka, tentang kecintaanku dengan dinamika piano pianissimo dan decresendo. Aku bicara dengan cepat, kegirangan setengah mati.
Saat aku bicara cepat, tiba-tiba dia menciumku, menciumku di bibir. Kau perlu tahu Bara, itu pertama kalinya aku mengunyah bibir laki-laki. Rasanya hambar. Dulu waktu SD, aku pernah tidak sengaja menonton film yang ada adegan ciumannya. Aku bilang ke Ibu, kalau aku tidak mau ciuman sampai kapanpun, lantaran aku jijik kalu tertelan ail liurnya, nanti kalau ternyata yang laki-laki belum sikat gigi gimana bu?
Ibu ku tetawa saja, dia bilang kalau anak kecil tidak boleh ciuman, kalau ciuman nanti bisa hamil. Ibuku tertawa kecil, aku masih ingat mimiknya.
Aku geleng-geleng kepala, sejak saat itu aku tidak berani dekat-dekat dengan lawan jenisku.
Tapi Bara sudah memecahkan rekor, aku tidak muntah, aku tidak jijik. Aku terbang melayang. Hari itu aku bisa lihat anatomi tubuh Bara, aku lebih-lebih mengenalnya. Aku makin cinta , bara.
Keesokan harinya aku menunggunya di  Beranda tempat hati kita saling mengadu. Bara datang telat. Aku tidak kecewa. Wajahnya pucat, pucat sekali. Aku makin minder, Dia semakin putih bersih, mirip malaikat.
Dia bertanya, pertanyaannya membuatku gugup, seperti teriris.
Senja, Kalau aku hilang, apa yang akan kamu lakukan?
Aku menjawab tanpa berpikir, aku akan mencarimu, Bara.
Dia tersenyum, manis sekali. Dia bilang aku gadis yang manis juga, pikiranku satu strip lebih waras daripada pikiran kakak-kakak kost ku. Aku dewasa, katanya. Dan dia sangat-sangat menyukaiku.
Aku tidak mengerti sebenarnya apa itu dewasa, aku belum paham.  Yang ada di otakku dewasa berarti jarang menangis. Aku jarang menangis, berarti aku dewasa. Yang jelas aku tidak mau kehilangan Bara. Bagiku dia lebih dari panasnya api, lebih dari panasnya bara sungguhan.
Wajahnya makin pucat, aku tidak suka, walaupun wajahnya tampak lebih mirip malaikat. Tapi tetap saja seperti orang sakit. Ku ambil vitamin milik paman, ku berikan kepadanya semua. Mungkin aku lebih pantas disebut pencuri vitamin, tapi semuanya demi Bara. Aku sering juga membawakan makanan kesukaanya, kari ayam, aku ambil diam diam dari dapur. Aku kembali mencuri. Beruntungnya istri paman sangat menyukain makanan itu. Kami makan bersama, aku lihat caranya berdoa, tenang, damai. Aku senang melihat dia melahap-lahap, melahap, melahap hingga tandas.
Kami lakukan semua di beranda kami, ku sebut beranda kami. Kami tertawa hingga membangunkan kakak pemilik kamar sebelah teras, aku tak peduli. Yang penting aku melihat rentetan giginya yang putih dan bersih. Rapi , senyumnya dan setengah lingkaran senyum merah mudanya. Komplit, Bara adalah malaikatku.
Biasanya sehabis latihan musik, dia datang ke beranda dengan tergebu-gebu.
“Aku mau kari ayam”, katanya.
Aku segera pergi ke dapur bawah untuk memeriksa dibawah tudung.
Tapi dia menahanku
“Aku mau kari ayam buatanmu”, katanya lagi.
Aku terpingkal-pingkal. Bocah sepertiku mana mungkin bisa masak. Cuma bisa menghabiskan masakan. Aku masih terpingkal-pingkal. Ajaibnya aku mengiya kan.
Dia tersenyum, lebih manis dari biasanya. Dia menarik tanganku, mengajakku buru-buru masuk kamar. Dia terseret-seret macam anak kecil minta gulali atau mainan. Kali ini dia menciumku, lagi. Aku tak menyuruhmu menyikat gigi seperti hari-hari sebelumnya, aku tidak jijik lagi. Dan kami juga tidak menyikat gigi, aku tidur dengan kerak kari, serpih sayur, dan serat ayam di sela-sela gusi. Aku tentu saja tidur di lenganmu. Rasanya damai. Kamarku tidak pengap lagi.

Kalau  Bara sudah pulang, biasanya aku susah tidur, bukan lantaran kamarku pengap, atau udaranya yang meranggas. Aku susah tidur karena memikirkan Bara, begini gilanya jatuh cinta. Aku baru mengerti dan merasakan di umurku ke 16 tahun. Apalagi dengan perkataanya kemarin.
“Bagaimana kalau aku menggilang”
 Itu saja yang mengiang-ingan di pikiranku, berulang kali hingga aku merasa mual. Aku mau muntah. Tapi tidak keluar sedikit pun apa yang ingin ku keluarkan.
Bangun tidur pun aku mual lagi. Aku pergi ke wetafel, namun tidak ada yang keluar. Kembali lagi aku kamar. Sampai di kamar, aku kembali ingin muntah, aku segera ke toilet, tapi nihil. Tidak ada satu pun yang ingib keluar.
Kakak yang lain melihati ku. Aku tidak bisa diam.
“Aku masuk angin”, skak mat!
Mereka langsung berhambuh pergi. Dasar kecoa, umpatku.
Seperti biasa , aku menghabiskan waktuku di beranda lantai dua. Aku masih mual tapi aku berdandan lebih cantik seperti biasanya. Aku memakai bedak, memakai lipglos, eyeliner, maskara. Berulang-ulang ku check nasib wajahku yang lebih mirip topeng monyet. Ingin ku hapus saja rasanya. tapi kata kakak kost yang ku paksa untuk memdandani ku, aku cantik sekali. Sebenarnya aku ogah berdandan, tapi ku lihat Kak Betty tampak mahir berdandan, ia berpengalaman, setiap ke kampus ia berdandan, ke gereja dia berdandan, ke pasar malam dia berdandan, ke toilet berdandan. Kata pamanku mungkin dia ayam kampus. Aku tidak paham ayam kampus itu apa, mungkin dia punya pekerjaan sampingan sebagai badut di kampus , begitu pahamku.
Dua jam aku menunggu, Dua jam sperempat, Dua jam setengah, hampir bedak ku luntur, yang tersisa hanya eyeliner. Aku tidak kesal, aku hanya khawatir. Ego ku sudah kulunturkan, aku tidak pernah kesal dengannya. Studio musik kecil di samping rumahku sudah tidak terdengar bisingnya. Sisa sayup-sayup demo yang belum rampung. Diulang terus menerus hingga aku bosan.Aku menengok ke beranda sebelah.
Ada lelaki berkaos hitam, aku kira Bara.
“BARA!” teriakku
            Lelaki itu melengah, bukan Bara, aku kecewa.
“Ada Bara disitu?” aku teriak, mengalahi sayup-sayup demo
“Hah?” dia tak mendegar, aku perlu lebih kencang lagi
“’Ada Bara disitu?” aku berlomba dengan speaker studio, mengalahi sayup-sayup demo.
“Oh, tidak ada yang bernama Bara disini!” dibalasnya lagi dengan teriakan
Aku lebih kecewa. Tapi aku tidak pernah menginggalkan beranda kami. Dia tidak pernah tidak menepati janji. Mungkin Bara lupa. Aku menikmati sendiri senjaku, hingga gelap, hingga tidak bewarna. Aku tidak menangis, Bara melarangku.
Jadwalku sepertinya makin bertambah, setiap pagi aku ke toilet, ke westafel, sampai-sampai kakak kost menggedor gedor pintu toilet. Mungkin sebentar lagi pintunya mau ambruk. Aku keluar dan aku di semprot dengan kecoa satu ini.
“Kamu ngapain sih di dalam? Muntah lagi? Mual nja? Kamu hamil kali! Dasar aneh!”
Brengsek, lagi-lagi dia memanggilku Nja, padahal dia yang lebih mirip tinja. Aku diam saja, malas mengumpat, tapi apa jangan-jangan perkataannya benar? Tidak mungkin.
Aku kembali ke beranda, Bara tidak pernah datang hingga dua minggu, tiga minggu,  sebulan. Ia tidak pernah datang lagi. Maafkan aku Bara, aku harus menangis.
Hingga kutemukan pagiku yang hening, aku kaget bukan kepalang. Perutku membesar, perutku membuncit. Ada yang hidup di dalamnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana kalau ibu tahu, dan ibu akan memukulku lagi dengan tangannya yang kasar, dengan benda-benda di sekelilingnya, sepatu bahkan sapu. Persis saat aku berkata kalau aku tidak mau sekolah lagi. Ibu adalah monster kedua yang kutakuti setelah ayah.
Dan tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku curiga kalau itu adalah Bara. Aku tergopoh-gopoh membuka pintu. Tebakan ku salah, wanita separuh baya masuk kamarku, tanpa sepatah-dua patah pun, tanpa izin. Dibelakangnya ada paman dan bibi. Paman bilang jangan takut, dia Cuma mau tanya-tanya tentang keadaanku.
Pertanyaan pertama di buka, “apa kabar, senja”, aku tak menjawab.
Sampai ke pertanyaan ke bilangan sepuluh, sebelas, lima belas, dua puluh. Dia mengorek semuanya, tentang bara, tentang perutku yang membuncit, tentang suara scream di rumah sebelah, ia lebut, kadang tegas. Aku tidak tahu dia siapa, darimana, apa kaitannya dengan masalahku, dengan keluargaku.
Sampai aku bosan, aku tidak mau lagi menjawab. Dia keluar dengan senyumnya yang tulus. Dia memberiku Baby Breath, bunga kesayanganku, putih selembut kapas. Dia pergi dengan senyum yang kurindukan, lebih ku rindukan daripada senyum ibu.
Mataku semakin bengkak, aku menangis sepanjang malam. Aku tidak mau keluar kamar. Hingga bibiku yang baik hati membawakanku kari ayam, aku malah melemparkannya, kari ayam mengingatkanku pada Bara. Malaikatku yang hilang. Dan perutku semakin membuncit, ku elus-elus perutku, perutku yang ku cinta dan apapun yang ku cintai di dalamnya. Paman semakin iba jika melihatku, dia tidak marah, ibu sepertinya juga tidak marah. Kakak kost disebelahku juga tidak marah, dia melihatku malah kasihan, dia tidak pernah memarahiku lagi.
Hingga suatu hari Paman memanggilku turun kebawah, Sepertinya serius. Ia melihatk mataku bengkang , sesak bekas air mata. Tapi dia diam saja, tidak menanyakan sepatah pun. Mungkin dia tahu aku habis menangis. Bilang ayah, semakin dewasa seseorang, semakin jarang ia menangis di muka umum.
“Menangis lagi, senja?  Di anak tangga , ia membuka bicara
Aku kaget, tebakan  paman benar, tidak meleset. Sejak itu aku merasa gagal berpura-pura dewasa.
“Jadi anak jangan cengeng”, ia menambahkan lagi. Uh, dia peduli apa, tentang kehamilanku saja dia tidak peduli. Ku kunci rapat-rapat mulutku.
Sampai di ruang keluarga, aku didudukkan di sofa. Aku penasaran.
Ku elus-elus saja perutku, menunggu ia membuka bicara. Diseduhnya teh, ia minum, diambilnya kacang, di kusap, lalu di lemparkan ke mulutnya yang gelap dan bau. Aku kketawa kecil, senyum-senyum sendiri  , kata Ibu paman adalah saudaranya yang paling bau. Makanya paman paling lama dapat jodohnya. Dulu Ibu cerita setiap aku tidak mau sikat gigi, aku masih ingat. Makanya aku ketawa-ketawa.
Ha ha, bau jamban ha ha. Ku elus-elus lagi perutku.
Paman berhenti menyeruput, sepertinya dia mendengar umpatanku. Aku terbahak-bahak dalam hati.
“Senja , berhenti mengelus-elus perutmu! Perutmu tidak membesar, tidak ada yang hidup disana. “
Aku diam, mataku memerah.
Mulai sekarang kamu tidak usah tidar di atas, tidur sendiri lagi. Di atas banyak hantunya, ibu akan datang. Tidur sendiri membuatmu berkhayal tinggi. Dengar itu senja
Aku makin bingung.
Semenjak ada Ibu. Aku tidak pernah menangsi lagi. Perutku mengempes. Aku tidak pernah melihat Bara lagi. Ibu bilang , dia tidak pernah ada. Aku bingung.
            Dan wanita paruh baya yang sering memberikan Baby Breath makin sering ke rumah, menanyakan kondisiku. Katanya aku mengidap skizofrenia, penyakit jiwa dengan halusinasi yang berlebihan. Bara memang hanya malaikat, dia tidak pernah ada, dia hanya menemaniku ketika langit hatiku mendung, tak ada bintang sama sekali.
            Sesekali aku berharap skizofrenia ini kembali kumat, biar aku ketemu Bara, tapi nihil. Aku hanya menikati senja, sendiri, dan mengirimkannya beberapa bait, biar bisa dia kunyah di surga sana. Bara, Malaikatku.

Ku sebut itu rindu
Yang memuncak di ubun-ubunku
Tumpah dan sesak
Tak sanggup ku tampung, ku jejal
Dengan memori tua yang rapuh

Tak ku dapat lagi di kamar ini, Bara
Pria dan cahaya bola mata sepertimu
Seutuhnya tertinggal nun jauh di sana
Hati ini, hati itu

Manis
Manis
Bengis
Ingin ku lihat lagi
Seperempat lingkaran merah muda
Mata-mata yang menyatu dalam kenangan
Dan rinai hujan
Aku ingin kembali
Ingin menuai rindu yang kau tanam di senja kita 






















Kost Biru

N
Dulu, sekitar 2 tahun yang lalu, aku masih ingat masa-masa termanis yang pernah kulakukan untukmu. Kita masih bocah, masih SMA. Kita putus sepihak, aku tidak pernah menyetujui perpisahan yang kau minta, aku hanya diam. Karna aku tau kita tidak akan pernah terpisahkan. Dulu, aku suka kamu , pria botak. Kita sering berjalan beriringan pulang sekolah. Kau yang begitu pendiam sudah mencuri segalanya.
Entah kapan kau akan membaca ini, atau entahlah kapan kau akan tahu kalau dulu hingga sekarang kau tetap menjadi semangatku. Aku belajar mati-matian untuk menjadi juara kelas, aku berusaha menjadi bintang agar kau tetap melihat ke arahku, memperhatikanku dari kejauhan. Tapi kurasa tidak ada yang berhasil, segalanya nihil.
kondisi meja waktu ulangan :D :')


Hingga suatu saat aku melihatmu  dari atas panggung. Kurasa menanyikan Not With Me untuk kita sangatlah membahagiakan. Kau yang berbaju putih dengan rambut dan senyum tipis melihatku, sejak saat itu aku yakin kau akan datang kembali. Tolong doakan aku tetap bertahan J