Bunga Pukul Sembilan
Pukul sembilan, aku baru bisa
melihatmu dilingkaran ini, menatap bahumu, ya hanya bahumu. Akulah si bunga
pukul sembilan, tak bisa selamanya mencuri-curi pandang kepadamu, merpati
jantan, karena aku hanya bunga pukul sembilan. Aku hidup hanya di pukul-pukul
sembilan, ketika kau sedang asyik tertawa dengan teman-temanmu dan merpati
betina lainnya. Aku sudah cukup puas, karena aku sadar , aku hanya bunga pukul
sembilan. Sesak dan pengap menahan rindu ber-jam-jam untuk menanti pukul sembilan.
Awalnya ku kira ini bukan penantian
yang sia-sia lagi, awalnya aku kira tidak ada yang salah dengan rindu ini. Kau
bersikap baik dan ramah kepada ku, si bunga pukul sembilan yang liar, pahit,
dan dingin. Kau selalu datang ketika matahari mulai membiarkanku hidup, di
detik-detik ketika waktu mengutarakan bahwa sebentar lagi pukul sembilan, aku
akan hidup.
Kita berteman, cukup lama. Tapi kau
hanya menemuiku sesekali, saat benar-benar genting, saat mau tak mau menjadi
kata “harus”. Pernah waktu itu kau menemuiku, sebut sajalah kita sedang kencan
sesama teman, atau aku yang berpikir terlalu spesial. Kau harus tahu kalau aku
bahagia. Aku tidak bisa tidur semalaman. Aku ingin beritahu disekelilingku
bahwa aku baru saja kencan dengan idolaku. Tapi sekejap saja kau sudah hilang
dari pandangan. Apa lantaran aku tidak cantik? Kata Ibuku, aku cantik. Kita
sama-sama berwarna putih, sayangnya kau hanya mempunyai sedikit noda-noda
berwarna hitam dan kakimu berwarna merah. Tapi harus kuakui, aku memang tak
secantik asoka, atau mawar liar lainya. Aku sadari itu.
Tidakkah kau kasihan? Aku dan kau
berbeda, aku hanya bisa diam ditempat, tugasku hanya mengamatimu dari jauh,
syukur-syukur kalau kau melihatku juga, menghambur senyum, aku pasti sudah
senang. Sedang kau, kau bebas, kau bisa sesukanya melayang-layang dengan
sayapmu, kau bisa berlari lari kecil, kau bisa datang semaumu, kesana-kemari, kepada
siapa saja: merpati betina, angin betina, bahkan bercumbu dengan ilalang. Toh aku
hanya bisa diam di bawah baangkai pohon yang usianya sudah puluhan tahun. Tersiksa.
Aku memang dingin dan pahit, tapi tidak bisakah kau menyapaku; hanya sepotong
kalimat “hai bunga pukul sembilan”, ya aku hanya menunggu sepotong kecil dari
ribuan kalimat dari bibirmu, kau begitu pelit, kau tak punya hati.
Merpati Jantanku, kau tidak tau betapa
tersiksanya menjadi bunga pukul sembilan, aku hanya punya waktu tiga jam untuk
melihatmu tertawa atau bernyanyi, atau apa sajalah yang kau lakukan, sebelum
akhirnya aku layu disengat matahari siang pukul dua belas.
Suatu hari aku bangun dari tidur
panjangku, gerimis menyambutku dengan sendu. Aku baru ingat kalau musim hujan
sedang menyerang.
“hai bunga pukul sembilan, kau tampak segar hari ini”, sapa
tuan hujan.
“hujan, dari berpuluh-puluh mereka disini hanya kau bilang
begitu”, ejekku.
“hahaa mereka buta”, dia tertawa, kalimatnya tidak terdengar
cukup jelas karena dia berbicara sambil mengakak kecil sekaligus mengunyah
tempias.
“ah sudahlah, jangan bohong kau, guyur saja aku, jangan
biarkan bangkai pohon ini membuatku haus”
Hujan mengguyurku, rintik demi rintik.
“Aku tidak berbohong. Tapi sepertinya..... kau sedang sedih?
Atau tebakanku salah?”, ia tetap mengunyah tempias.
Aku tersenyum saja. Duka tak dapat ku sembunyikan.
Kau yang membawaku ke lingkaran ini.
Hutan rimba, penuh racun dan duri. Bukan hanya semak belukar, tapi lumpur dan
rumput liar. Termasuk aku, aku hanya salah satu kawanan bunga tak dianggap, kau
memang tak salah membawaku ke sini, kau memang mengenalku, atau jangan-jangan
kau hanya mengolokku.
Semula aku tak mau mengikutimu,
semula aku berpikir ribuan kali untuk pindah ke habitat yang aku tak mengerti
bagaimana pendudukdan segala rantai makanannnya, entah tamak atau ramah.
Aku sempat berpikir berpuluh-puluh
windu hingga semesta muak dengan kecemasanku. Aku hanya berpikir normal, apakah
aku akan baik-baik saja jika mengikuti si rupawan ini? Apakah bahagia? Atau
sengsara? Aku hanya ingin bertahan hidup, dan kau “merpati bermata biru”
menjadi pertimbangan terbesarku dalam urusan segila ini.
Kau merayuku, tak pernah jenuh.
Segala pujian beserta tetek bengeknya sudah kau muntahkan. Kuakui kau memang
pandai, kau taku kelemahan si bunga betina pukul sembilan, walaupun aku sadar
aku tak pantas dapat pujian, karna aku hanya bunga pukul sembilan. Kau bilang
aku cantik, pintar, menarik, ah persetan. Walaupun aku tahu kau hanya merayuku
agar bisa masuk hutan rimba yang kau sanjung-sanjung hingga tumpah darah
penghabisannmu. Tapi aku tetap saja si bunga pukul sembilan yang mencintai
merpati jantan dihadapanku ini.
Tapi kau memang pintar, kau berhasil
merayuku.
Disini sejuk, dibawah bangkai pohon
yang usiannya berabad, tapi aku tak pernah sejuk jika melihatmu bersama
teman-teman betina mu. Yang pertama, kutahu teman dekatku menyukaimu, si Soka
yang pernah kau berikan gelang rumput ditangannya, dan kau diam-diam
menemuinya. Romantis ya? Ah betapa beruntungnya dia, cantik, dan kau seperti
menyukainya. Yang kedua, aku dengar-dengar kau punya pasangan baru, si merpati
betina yang aku tidak tahu namanya, yang jelas dia juga jelita, lebih jelitah
dari si Soka. Namun kudengar-dengar juga hubungan kalian kandas, jujur saja aku
ingin meloncat saking senangnya. Setelah itu kau dengan gampangnya bermain-main
dengan yang lain. Mencumbu si ilalang, memberinya perhatian. Kau pasti
mengiraku cemburu kan? Tidak. Tidak salah lagi.
Disini memang sejuk, tapi tetap saja
kau tak kunjung datang. Aku sudah susah bernapas lantaran angin yang berhembus
lara di hutan ini, aku tersiksa, merintih karena pujaanku tak kunjung datang, Kurasa
sebentar lagi aku akan layu dan mati lantaran rinduku sudah sesak dan tumpah,
aku tak ingin jadi bunga pukul sembilan. Aku ingin selamanya melihatmu, membaui
aroma mu yang lebih mirip semangka, menjadi penonton setia di setiap
pertunjukanmu. Aku ingin jadi si mawar, si kumbang, si anggrek, si merpati-merpati betina yang leluasa
melihatmu bermain diatas panggung, dengan skenario tuhan yang memang men-takdirkan
ku sebagai peran pembantu, bukan sebagai pasanganmu. aku sudah menunggu mu
bukan hanya beberapa jam, sudah betahun-tahun cahaya, kau seharusnya sudah
melihatku hari ini, ditengah sakaratul mautku . Aku kurang sabar bagaimana
lagi, aku bukan lagi goyang, aku bukan rapuh, tapi aku sudah-benar-benar jatuh.
aku menyerah, merpati jantanku. kau hanya bisa kumiliki disetiap
episode-episode mimpi di setiap malam yang ranum, aku hanya bisa menciummu disetiap
doa, aku hanya memelukmu di imajinasi setelah lewat pukul 12 siang.
Maafkan aku jika terlalu pengecut,
menyukaimu dalam diam, menjadikanmu sesuatu yang kukagumi selain rembulan.
Suatu saat kau harus tahu rasanya aku yang sebenatr lagi mati dan tak bisa bersandar
didekapmu barang sedetik saja, suatu saat kau akan tahu pedihnya menanti
senyuman dari tuan yang sebenarnya tidak ingin tersenyum. Ya, kau harus tahu.
Maafkan aku.