Siapa yang bisa membaca pikiranmu selain
Tuhan? Siapa? Kurasa tak ada. Mustahil manusia sedingin kau bisa ditebak segala
hati dan isi otaknya. Lagi lagi hanya kau –manusia terintovert penghuni bangku
belakang- yang membuatku kebingungan. Aku sih tidak ambil pusing, aku hanya
bingung. Itu saja. Titik.
Ternyata kau benar-benar menyukaiku? Apa aku
tak salah baca? Ya Tuhan, sungguh tidak beruntungnyaaku telah menyia-nyiakanmu
dulu, Siapa sangka kau menghafal perkataanku yang sedikit gila itu, kau ingat
segala omong kosongku yang aku tak saja tak mengerti.
Tidak terasa sudah hampir setahun masa itu
berlalu. Aku terpaksa mengais-ngais lagi cerita tentang” Kuncoro” si kutu buku
yang sering kali mencuri pandanganku dengan ajaib.
“Teh tarik, lek. dingin”. Kemudian kau duduk di
pojokan mencari sudut yang tidak terlihat keramaian, lalu kau duduk diam
disitu, membaca buku. Kau semakin acuh -tak acuh, dengan kepulan asap kau tetap
diam, sedang aku berkoar-koar agar kau sedikit saja melihat ke arahku. (Ternyata
aku baru tahu, kau juga mendengarkanku) Sudah berapa batang rokok yang kau
habiskan siang ini, Kuncoro? 3 batang? 5? Satu Slop?? Aku kan sudah pernah
bilang, jangan sering-sering merokok, merokok bisa membunuhmu. Tapi mungkin kau
tak ingat, atau bahkan kau tidak mau mendengarkan sebab kita sama-sama perokok.
Dulu aku tidak suka teh tarik, tapi karena kau
aku jadi suka. Sederhana ya. Kadang aku bingung, sebenarnya kau menyukai teh
atau kopi? Kau sulit ditebak.
Kau begitu memusingkan ku, saat tiba-tiba kau
datang secepat angin, kau juga terlalu cepat berlalu. Begitu kah cinta? Aneh.
Tapi bagiku memang begitu cinta, tidak pumya logika.
Sebenarnya tulisan ini bukan curahan hati,
bukan, sungguh bukan. Tetapi aku hanya ingin cerita, Akhir-akhir ini aku
mencoba untuk mencairkan segala suasana yang dulunya aku hancurkan sendiri, aku
mulai menyapamu (sedikit, atau mungkin tidak berhasil sama sekali). Kadang aku
mengirim pesan singkat padamu, isinya hanya 3 kata: Hai. Atau pernah juga aku
menelponmu alih-alih menanyakan teman sekamar. Tapi kau tetap acuh—tak acuh. Hingga
kabar itu terdengar di telingaku: KUNCORO SUDAH PUNYA GANDENGAN! Oh tidak,
pupus sudah, aku angkat tangan. Semoga kau bahagia, kuncoro.