Kata orang, kita mencari untuk ditemukan. Ada pula yang mengatakan, kita mencari untuk menemukan. Ternyata itu bukan omong kosong, tak salah setitik pun.
Aku suka badanmu yang tidak atletis, aku suka celah-celah matamu yang sempit, aku suka tabiatmu. Waktu lalu kita pernah bercakap dalam dialek melayu, agak aneh aku mendengarnya. Tapi kau selalu berhasil membuatku tetawa.
Kau bilang kau hendak ke sana, ke negeri jiran, dimana selalu kau temukan dialek tersebut disetiap saat. Aku iyakan. Aku hanya takut merindukanmu jika tidak ada jaringan telkomsel disana. Karna cinta kita hanya mengharapkan telpon selular, dan wifi-wifi gratis. Kuharap kau juga mengerti.
Disini aku akan baik-baik saja, sayang. Seperti pesanmu padaku sebelum pesawatmu lepas landas dari yogyakarta menuju jakarta lalu mengawang ke Malaysia. Aku hanya mengakhawatirkanmu sebab baru-baru ini kapal terbang berbau negeri jiran jatuh di laut cina selatan, penumpang dan awak serta puing-puingnya pun tidak ditemukan.
Dan seperti biasa, kau sibuk disana. Entah sibuk apa, aku tak bertanya. Yang kutahu pastilah tidak jauh dari musik tradisi yang kau geluti. Mondar-mandir, letih, dan linglung. Ada proyek, kau mengabariku tanpa kutanya. Aku paham maksudmu, pasti kau tak ingin membuatku lama menunggu pesan dan telpon singkat darimu kan? Aku sudah paham, sayang. Aku pun sering mengalaminya, datang pagi pulang subuh.
Enam hari kau tak mengabariku, aku tidak marah, aku hanya khawatir. Sudahkah makanmu terpenuhi, berapa batang rokok yang kau hisap dalam sehari. Guyonanku seperti  ”Jangan ngerokok terus. Nanti kau cepat mati. Aku pasti sedih”, sebenarnya itu bukan guyonan biasa. Aku memang tidak ingin kau cepat mati. Apalagi kita baru bertemu –kembali-.
Enam hari kau tak mengabariku, hampir seminggu. Aku seringkali kehujanan disini lantaran kau tidak lagi mengingatkanku untuk membawa mantel, aku tidak makan tepat waktu, aku tidak pernah tidur cepat, aku sempat flu karena dingin yang mengepung kota Samarinda, Kalimantan. Aku coba menghubungimu, kau bilang disana susah membalas. Perlu kuingatkan sayangku, cinta kita hanya mengharapkan telpon selular, dan wifi-wifi gratis. Jarak semakin jahat.
***
Setidaknya aku sudah terbiasa soal jarak dan waktu. Disini aku pun sibuk dengan kegiatanku, latihan yang tiada henti dan analis-analisis novel yang belum rampung. Dahulu ketika perjalanan pertamamu ke Gunung Bromo, kau pun tak mengabariku tiga hari. Kau hanya mengirimkanku sebuah foto dengan background kabut-kabut subuh. Tidak masalah bagiku, aku turut bahagia. Aku paham, kau adalah orang seni, setelah kau tempuh sarjanamu pasti kau habiskan musik-musik karawitanmu itu sebagai nafkah. Bukan sepertiku, musik hanya hobi.  Selebihnya aku hanya ingin menulis.
 Lalu kau berkhotbah panjang lebar.
 “Hobi dan bakat sama saja, toh dari hobimu itu kau sudah pernah merasakan uang dari hasil manggung”, katamu dari ujung telpon.
Sayang, kutahu kita tidak terikat, aku bukan kekasihmu lantaran kau belum pernah meminta dan aku belum pernah menagih. Namun ada baiknya kita tidak memiliki profesi yang sama nantinya. Walapun aku tidak pernah membayangkan kita akan hidup bersama.
Sayang, barangkali aku benar-benar kesepian, tapi tidak benar-benar ingin ada seseorang yang terus-menerus berada didekatku. Malam kemarin , ada lelaki yang pernah kucintai kembali menelponku, kuingat-ingat ada 3 panggilan masuk, namun aku berhasil menolaknya. Malam ini, ia kembali menelpon, kau tau kan betapa merasa bersalahnya jika tidak menjawab panggilan orang lain, apalagi seseorang yang sempat kau cintai hingga nafas dan jiwamu. Aku terpaksa mengangkatnya, walau setengah hati. Ia menanyakan kabar beserta tetek bengeknya. Jujur aku sangat terkesan, hatiku hampir luluh lagi.  Namun ku jawab sebisanya saja. Seperti di campur aduk perasaanku, aku memilih pura-pura ngantuk dan ingin tidur. Selepas itu aku tidak bisa tidur semalaman.
Aku memilih bungkam saja mengenai kejadian itu. Sebab aku ingin menjaga perasaanmu, menjaga hubungan yang aku tak tahu apa namanya. Yang jelas skor kita sudah satu sama.
Kemarin kita pernah bertengkar hebat. Bukan, bukan bertengkar hebat, namun amarahku saja yang membabi buta. Kau tak punya hati, sungguh. Kau biarkan jarak memenangkan pertandingan ini.
 “Aku hanya rindu, sebatas rindu, apa salahnya?” kau bilang begitu.
Ya Tuhan, kau begitu kejam berkata demikian. Aku bukan mendramatisir persoalan kemarin. Perempuan mana yang tidak sakit hati jika lelaki yang dicinta nya sedang merindukan masa lalunya. Sempat bertemu pula. Ah kadang kau tak berperasaan.
Sejak masalah itu muncul, aku mogok menerima telponmu. Kuingat-ingat sempat dua minggu lamanya, ku biarkan kau menyesali perbuatanmu, ku biarkan kau mencari-cariku, ku biarkan pula kau mengemis maaf. Bukannya kejam, tetapi aku hanya ingin membuatmu kapok. Ku yakin, hubungan ini sudah mulai cacat. Aku tak ingin kau berbual, maka dari itu aku sering menanyakan mu dua hingga tiga kali. Aku tak mau dibohongi, aku pun tak sudi bila punya saingain lain selain jarak.
***
Setelah aku menimbang-nimbang lagi memang ada baiknya kita tidak mengikat satu sama lain. Kau seorang pemusik, kau akan sering bertemu orang-orang baru, berarti wanita-wanita baru. Kudengar penari-penari ISI begitu memikat.  Sedangkan aku adalah seorang yang pencemburu berat.  Aku sadar, memang tidak ada komitmen diantara kita, kita tidak pernah bicara soal itu. Namun kuyakin hatimu bukan batu.  Aku percaya tangan-tangan tuhanlah yang mempertemukan kau dan aku, mendekatkan yang jauh dan memaafkan yang lalu.  Bukan tidak mudah memulai dari nol. Berteman dekat 4 tahun lamanya, lalu kau sempat kucampakkan (aku tak pernah berniat begitu). aku memang brengsek namun nyatanya kita saling mencari. Merindukan dalam jarak yang pekat, lautan dan daratan yang luas. Kurasa Jawa tidak selamanya jauh dari pandanganku, toh kita melihat bulan yang sama malam ini.
Sayang, Kau tahu aku pengecut kan. Memangilmu sayang di dunia nyata pun aku tidak pernah. Aku hanya berani menulis, yang aku bisa hanyalah menulis. jika aku sudah menulis tentangmu berarti hatiku pun sudah berhasil kau curi. Dan tebaklah, kau sudah lebih dari berhasil.