Apa benar ini sebuah kutukan?Aku masih tidak menyangka bahwa menulis akan menjadi ladang penghasilanku setelah lulus kuliah. Aku kira aku akan jadi mbak-mbak kantoran nan cantik, bekerja seharian penuh di ruangan ber-ac, berdandan lengkap dengan eyeliner, maskara, dan lipstick yang merah.
Prediksiku salah, nyatanya aku memang dinobatkan menjadi penulis abadi di setiap rongrong waktu. Sejak sekolah, aku harus pusing dengan paragraf-paragraf novel, bait-bait sajak, serta kata-kata idiom. Lanjut ke bangku kuliah, entah mengapa aku mengambil jurusan sastra. Hingga kini, aku lagi-lagi memilih menulis sebagai pe-ker-ja-an-ku.  
Ya, kuli tinta, kata orang sastra. Kurasa inilah jawaban atas doa-doa orang di sekilingku ketika bilang “semoga ilmunya barokah ya” ketika aku wisuda. Ku rasa ini memang merupakan kutukan. Kutukan yang indah, tentunya.
Aku tidak mengeluh. Aku malah bersyukur. Toh, jadi kuli tinta masih halal, nggak nyopet apalagi ngemis. Intinya, berbaik sangkalah pada Tuhanmu, itu saja.Karena di tengah defisit negara yang
mengecewakan, dan corat marut kebingungan fresh graduate mencari kerja, aku masih bisa cari duit sendiri tanpa diiming-imingi secuil nepotisme.


Disela pekerjaanku yang blusukan kesana-kemari, mencari narasumber dan sedikit berita dari isu-isu kota, aku tengah disibukkan dengan aktivitas “merenung”.
Jadi, apakah aktivitas “merenung” itu?
Sejujurnya , aku sedang dikelilingi dengn perasaan sedih dan kecewa dengan diri sendiri. Pasalnya, ketika aku sedang mencari-cari beasiswa untuk lanjut studi, aku sempat berpikir, “ what i have done for almost 22 years living on earth? Have i contribute to people and country? What achievement that i got?” Kemudian pertanyaan-pertanyan ini aku tutup dengan rasa resah dah gelisah.
Apakah ilmu ku sudah bermanfaat? Sudah barokah kah hidupku dengan ilmu yang aku punya? why don’t i do something great for my future from first time ?
 Ah, hidup penuh dengan drama.
Setelah ku pikir-pikir, “Mungkin aku perlu belajar lagi...”