Sesal



Tidak ada kisah paling tragis dari kepergian seseorang yang kita cintai. Bukan sementara, tapi selamanya.

Adalah kakekku,  yang memintaku –cucu pertamanya- pulang ke kampung satu bulan sebelum ia benar-benar pergi. Memintaku untuk membawakan (hanya) satu pot bunga Aglaonema bermotif bintik-bintik merah dari Yogyakarta. Memintaku menekan perutnya yang sakit karena penyakit komplikasi yang selama ini ia derita. Memintaku untuk bercerita tentang G 30 S PKI yang kutahu hanya lewat filmnya Arifin C Noer.

Adalah kakekku,  guruku sejak kecil. Mengajari ku berhitung, belajar bahasa inggris lewat soundtrack-nya Titanic atau lagu-lagu lawas milik the beatles, mengaajariku nama ibu kota dari seluruh dunia agar aku bisa kesana suatu saat. Bahkan, passion ku dalam sastra adalah darinya. Setiap ia mengantarku ke taman kanak-kanak menggunakan sepeda, tak lupa ia bercerita tentang si kancil, abu nawas, atau cerita-cerita lucu ketika ia perang. 

Aku tau, Kai –sebutanku untuk nya- masih ingin tetap tinggal. Melihatku sukses, menikah, dan punya anak yang lucu-lucu. Ia punya harapan yang tinggi untuk terus bertahan melawan penyakitnya.
“Kalau kai sembuh, nanti kita bikin kebun lagi depan rumah,” katanya 3 hati sebelum kurasakan sendiri ia meradang lalu terbang melalui kapiler-kapiler tangan dan lehernya. 

Barangkali cinta tak selamnya bisa memiliki. Bahkan memiliki foto kami bersama. Sungguh, aku lupa minta foto berdua saat aku dewasa. Parahnya,  aku lupa berterima kasih dengan baik padanya, kenangan-kenangan masa kecil mungkin tak akan indah bila tanpa kehadirannya, yang dengan caranya masing-masing telah membuat kasih sayang Kai tak terlihat namun terasa hangat.

Mungkin, aku tidak tahu apakah hidupku selama  23 tahun ini telah membanggakannya atau tidak? Tidak tahu apakah aku pernah membuatnya bahagia, tidak tahu apakah aku pernah memberinya perhatian.

Aku membayangkan, apa yang kai lakukan disana? Sempitkah? Gelapkah? Sedih atau bahagia kah ia disana? Sambil memandangi foto terakhirnya dengan seragam  veteran berwarna kuning tua,  aku mentransendensi apa yang ku lihat dari bayangan kaca pada bingkai poto tersebut, dan menyadari bahwa kepemilikan pun tak lekang, bahwa terbebasnya kita dari rasa sakit adalah kedamaian sejati. Karena ku yakin, Kai telah damai disana.

***

"Apa kabar?" Aku rasa, itulah pertanyaan yang sesungguhnya, menggantung setiap pikiranku. Mengingat dan mendoakan nya di setiap momen yang sempurna. Ia, pengganti ayahku yang bahkan aku lupa di bagian mana aku pernah menanyakan kabarnya lewat telepon.Dan kini hanya menjadi menjadi sembilu penyesalan atas ketiadaan baktiku padanya.

Maka,kudedikasikan separuh cita-citaku untuk Almarhum. Lewat rezeki yang tanpa kusadari adalah permohonannya di setiap detik  kepada Tuhan.

0 Comments:

Posting Komentar