Menepis Ragu, Memburu Mimpi


Berbicara pengalaman tentang bagaimana berburu beasiswa LPDP tidak akan pernah menjadi cara bernarasi favorit saya. Keterbatasan emosi yang tidak bisa pembaca rekam biasanya mengurangi esensi dari proses pemburuan tersebut  Namun, semoga tulisan ini dapat mewakili perasaan saya yang teramat bahagia tanpa membuat pesan yang sesungguhnya menjadi sulit dipahami.

Serupa dengan  tulisan-tulisan awardee yang terdahulu, jujur, membaca tip mereka  banyak membantu saya dalam membangun pilar penopang proses idealisasi. Disana saya menemukan apa yang harus saya lakukan demi Indonesia yang lebih baik. Entah dengan skala rumahan atau skala pabrikan. Sehingga bagi saya, kisah ini adalah penggalan pengulangan dari apa yang pernah saya bookmark dengan versi saya sendiri.

"Benarkah saya seorang awardee?" Seolah tidak percaya, pertanyaan tersebut seringkali terbesit dalam pikiran. Sampai sekarang pun, saya masih sering menangis tatkala mengingat sebuah surel datang dari LPDP dan menyatakan saya lulus tes substansi.

Ibarat belajar berenang yang tak akan berhasil bila takut tenggelam, atau ibarat belajar bersepeda yang akan gagal jika terus takut jatuh, kita pun butuh keberanian untuk berani bermimpi dan menjadikannya nyata. Sebab, mimpi hanya sekedar mimpi bila hanya ditunggu tanpa dikejar. Rintangan demi rintangan bagi saya adalah proses manis untuk menghidupi mimpi tersebut.

Rintangan pertama bermula saat mengikuti toefl, awalnya saya sempat kecewa karena toefl ITP saya kurang dari standar Afirmasi tahun 2016. Kekecewaan itu saya leburkan dengan pergi ke Pare, Kampung Inggris utuk menimba apapun ilmu yang bisa ditimba, selama itu baik tentunya. Atas izin orang tua dan rekan kerja saya memutuskan untuk resign dan bertolak ke Pare. Tabungan dari hasil gaji selama setengah tahun saya kuras demi perjuangan ini, mengingat biaya pesawat dari Balikpapan menuju Surabaya tidaklah murah. Setelah satu bulan saya belajar, akhirnya saya mengantongi score toefl ITP 500, sebuah nilai yang jauh di luar dugaan.

Rintangan kedua adalah ketika saya memburu LOA (Letter of Acceptance). Setelah dari Pare, saya mendaftar di magister ilmu susastra Universitas Dipenogoro kemudian bergegas mengikuti test PAPS (Potensi Akademik Pascasarjana) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alhamdulillah saya lulus di kedua test tersebut dengan nilai PAPS yang cukup memuaskan. Namun sayangnya, saya harus melepaskan tiket masuk ke Undip karena pihak kampus tidak memiliki kebijakan untuk defer atau menunda kuliah. Terlebih, mahasiswa baru mengharuskan pembayaran di awal (kurang lebih 2 minggu setelah pengumuman). Galau? Jelas. Saya sadar, beasiswa adalah satu-satunya kapal yang membantu saya untuk sekolah lagi. Setelah menunggu satu bulan semenjak peristiwa tersebut, akhirnya saya merasa lega setelah dinyatakan lulus LPDP. Allah memang maha baik!

Sejujurnya, bersentuhan dengan ide-ide saat menulis essay, menjawab AO, hingga tiba hari substansi merupakan proses yang berhasil memporak-porandakan mental. Dari mulai rasa ragu, ingin menyerah, krisis percaya diri, gugup, dan sebagainya. Terlebih saya, tanpa mengurangi rasa bangga saya sebagai anak sastra, saya merasa kecil saat mengetahui ilmu sastra,budaya, linguistik, dan ilmu sosial sejenis berada di prioritas terakhir dengan passing grade sebesar 800. Kadang pula, saya merasa tidak memiliki kapasitas sehebat lulusan Jawa atau aplicant LPDP lainnya. Saya merasa, kegelisahan tersebutlah yang menjadi momok terbesar dalam perjalan panjang yang penuh drama ini. Jadi tips pertama saya, tetap tenang. “Rezeki tidak akan tertukar”, begitu Kata Anis, teman satu asrama saya dari Semarang. 

Profesi saya sembilan bulan lalu adalah seorang jurnalis. Saya menangani bukan cuma masalah tulis-menulis, tapi juga bagian edit-mengedit di sore harinya. Terkadang, seminggu 3 kali saya mengajar di sebuah bimbingan belajar di kota Balikpapan. Benar, ratusan mil dari Kampung halaman saya, sebuah daerah perbatasan di Kalimantan Timur, Kabupaten Berau, saya terpisahkan oleh keluarga saya.

Akibat terlalu tenggelam dalam pekerjaan tersebut,  blusukan kesana kemari, mencari narasumber dan isu-isu berita Kota Balikpapan, saya tersadar betapa sedikitnya kontribusi yang telah saya berikan kepada tanah kelahiran saya.
Pertemuan saya dengan anak murid saat mengajar, atau saat liputan pendidikan menyadarkan saya beberapa fakta bahwa sebagian anak-anak di usia 6 hingga 11 tahun tidak gemar membaca. Padahal tidak ada satu pun daerah yang maju sepanjang sejarah kecuali masyarakatnya sadar akan pentingnya gerakan literasi. Namun di lain sisi, kebiasaan membaca tidak bisa terbentuk secara instant dalam diri anak. Perlu pembinaan sejak dini dengan melibatkan peran orang tua yang dapat diterapkan dengan kebiasaan mendongeng. Oleh karena itu, jika kebiasaan ini mendarah daging sesuai harapan demi terwujudnya sumber daya manusia yang cerdas intelektual dan emosional karna gemar membaca, saya ikut berbahagia. Apalagi bila saya ikut mengambil peran didalamnya, sungguh saya merasa lebih berbahagia.
Sebagaimana awardee lainnya yang memiliki resep tersediri untuk sampai pada tahap ini. Saya pun memiliki beberapa tip yang umum dihadapi pelamar LPDP.  Berikut saya jabarkan. 

  • Ikut di berbagai media sosial
Dari pengalaman saya, cara terbaik adalah dengan mengikuti berbagi grup diskusi pemburu LPDP. Entah itu Whatsap, telegram, maupun line. Salah satu yang sangat berkesan adalah ketika bergabung dengan grup "Keluarga Baru". Diperkenalkan dengan sesama scholarship hunter lainnya, saya merasa semangat teman lainnya menumbuhkan kombinasi perasaan yang mengalahkan rasa tidak percay diri saya. Di forum tersebut, kami belajar dengan intensif bagamana cara menulis esay yang baik, beragurgumen dengan santun, menjawab pertanyaan tanpa rasa gugup.
  • Perbaiki niat
Tidak Cuma jadi omong kosong, kembali pulang ke Indonesia dan mengamalkan ilmu yang telah kita kuras dari belahan dunia lain merupakan gol mutlak yang harus tertanam di diri setiap aplicant LPDP. Ingatlah bahwa mengejar beasiswa ini adalah satu babak baru dalam hidupmu untuk membangun proyek proyek mimpi masa depan Tanah air, bukan hanya mimpimu semata.
  • Telaah kembali goal yang urgensi
Sempat saya habiskan malam-malam saya untuk berkhayal dan berpikir, “Apa yang akan saya lakukan untuk Indonesia 7 tahun mendatang”. Syarat LPDP, bagi saya bukan sekedar “kembali” -sebuah kata kerja yang berarti balik ke tempat semula- Melainkan kembali mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Jadi, pikirkan kembali kontribusi yang sangat dibutuhkan Indonesia, minimal daerahmu.
  • Jadi diri sendiri
Saat AO, tidak ada yang perlu dirisaukan. Kamu hanya perlu jadi diri sendiri. Ketika dihadapkan dengan pilihan yang membingungkan, kamu hanya perlu tanya pada hatimu.
  • Latihan wawancara
Ini yang saya terapkan dari hasil nasehat salah satu awardee LPDP, semua kemungkinan-kemungkinan yang sekiranya akan akan menjadi pertanyaan saya ketik, dan saya jawab semaksial mungkin. Bedanya, saya tidak ingin menghapalnya. Saya hanya membaca terus menerus. Sisanya, kamu hanya perlu meyakinkan interviewer bahwa kamu adalah pribadi yang mereka cari.

Mengakhiri tulisan ini, saya sedikit mengutip tulisan Dewi Dee Lestari, “Kata-kata hanyalah petunjuk dan bukan realitas yang sesungguhnya, maka deskripsi atas pengalaman amat susah diungkapkan”. Tidak salah, tulisan saya hanya sebatas petunjuk yang kelak sedikit membantu situasimu. Proses ini bisa jadi  perjuangan yang melelahkan. Namun bila kita kembali menengok ke belakang, mengintip momen-momen saat tersungkur dan terjerembap pengalaman ini malah semakin mengesankan. Selamat berjuang!

Berau, 2017


0 Comments:

Posting Komentar