SAYA TIDAK SUKA BUBUR


Gatal yang tuk kunjung usai itulah bakat. Ibu Suri pernah bilang dengan saya siang itu, matanya teduh. Dengan baju dan rok berwarna lembayung iya melangkah ke podium untuk bilang saya berarti punya bakat.
Bukan, maksud saya bukan kepada saya saja Dee bilang begitu, tapi kepada puluhan pasang mata di perpustakaan tadi.

Benarkah Gatal yang tak kunjung usai itu adalah bakat, tuhan? Terkadang pertanyaan itu buat saya makin sakit kepala tetapi selebihnya saya yakin. Bukan lantaran dia seorang penulis novel best seller, tapi memang radiasi yang dia beri cukup membuat saya percaya.

Sejauh ini saya memang sudah kepalang basah berkecimpung seni dan sastra. Kuhitung-hitung lagi sejak TK saya sudah keseringan menggunakan otak kanan. Hingga sekarang, 20 tahun, saya malah merasa salah jalan.
Saya seorang calon sastrawan, entah menjadi apa setelah lulus dari program sarjana, penulis novel? Penulis skrip? Pekerja kantoran? Dosen? Guide tour? Semua masih mengambang seperti tai. Malah ada teman sekelas saya yang mengaku bahwa tulisan saya jelek, tidak berkualitas, begitu juga permainan biola saya, ngambang kaya tai.

Saya seorang violinist, violinist gagal tentunya. Kalau tidak gagal mana mungkin saya galau setiap malam lantaran konsep musik belum kelar-kelar, setiap hari dicaci, dibisiki oleh senior saya yang sudah bersertifikat, “Hai Bodoh, kamu memang nggak punya bakat disini”. 
Atau si Tuhan artistik yang berkoar-koar “Dari tadi kamu cuma diam, Cuma mencatat, sebenarnya kamu paham atau tidak apa yang saya omongkan?”. 
"Pak, sebenarnya saya paham, saya cuma butuh waktu menyalurkannya. Ga seinstant itu, Pak”. Kemudian saya dicaci lagi. 
"Yasudah, saya meyerah, rasanya memang saya cuman tukang catat dan tukang ngingatin. Saya tidak bisa pak, saya memang tidak punya bakat disini". Sebagian melongo mendengar pengakuan saya.

Gatal ini semakin menjalar keseluruh tubuh dan pikiran, saya semakin tidak karuan. Tapi mau gimana lagi kalau nasi sudah menjadi bubur. Kata ibu saya, saya ini batu, sekeras batu. Walau terkadang aku merengek  kepadanya “Sebenarnya apa.. Menulis? Musik? Berkhayal? atau diam?”. Tidak! Yang terakhir bukan opsi. saya tidak ingin diam. Benar kan, saya memang batu... batu cadas, saya tidak mempan dipecah-belah.
Memang saya tidak suka bubur, tapi yasudahlah... Nikmati saja buburnya, toh saya tinggal membeli kuah sop dan menambahkan suiran ayam dan telur diatasnya.....bon cabe jangan sampai lupa... 

BUBUR INI... TERIMA KASIH....

0 Comments:

Posting Komentar